(PRE-HOSPITAL CARE OF HIGH
ENERGY TRAUMA PATIENT)
PENDAHULUAN
Setiap korban/pasien akibat trauma pada
pertolongan primer/prehospital care
atau pertolongan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus dipikirkan apakah ada
ancaman nyawa (life threatening) yang kemudian
dilanjutkan ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak (limb
threatening) akibat trauma energi ringan atau berat (low or high energy trauma). Kedua macam energi tersebut yang
menimpa korban/pasien tersebut dapat menimbulkan kerusakan jaringan lunak atau
tulang saja atau kedua jaringan tersebut atau disertai trauma di derah lain lain seperti Ilustrasi 1 di bawah ini.
Bila trauma tersebut adalah trauma energi berat dapat terjadi
kerusakkan jaringan tulang dan jaringan lunak sangat hebat/berat (severe bone-soft tissues damage) dan/bahkan dapat disertai
kerusakan organ-organ di daerah lain seperti trauma kepala, torak, abdomen, retroperitoneal dan pelvis
yang disebut politrauma atau trauma multipel. Korban/pasien tersebut mungkin
sadar atau tidak sadar atau sadar kemudian berlanjut tidak sadar. Kerusakan
jaringan lunak akibat trauma energi berat berimpak pada kerusakan kulit,
jaringan di bawah kulit seperti otot atau tendon atau ligamen, pembuluh darah,
dan saraf tepi. Kerusakan tulang dapat menimbulkan fraktur komminutif atau
fraktur segmental atau sebagian fragmen fraktur terlepas (bone loss)
atau beberapa fraktur pada tulang atau beberapa fraktur pada tulang yang sama
atau beberapa tulang secara bersamaan yang disebut fraktur multipel atau
terjadi dislokasi sendi baik tertutup maupun terbuka dengan komplikasi seperti
ilustrasi 2.
A. PERTOLONGAN PRIMER
Pertolongan
primer atau primary care/pre-hospital
care atau kata lain initial management
pada area kecelakaan/bencana atau di IGD RS pusat trauma adalah menentukan
kondisi kritis akibat tidak dipenuhi kebutuhan oksigen korban/pasien.
Relawan/tim/residen jaga RS pusat trauma harus mempunyai keterampilan guna
menentukan manajemen kebutuhan oksigen yang masuk ke pulmo dan distribusinya ke
sel-sel tubuh korban/pasien akibat trauma energi berat (high energy
injury). Sehingga prioritas pertolongan primer adalah memfokuskan
gangguan kebutuhan oksigen sebagai tindakan penyelamatan nyawa (life saving) terhadap ancaman kehidupan korban/pasien (life threatening) dan kemudian dilanjutkan tindakan
penyelamatan terhadap ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak (limb saving) terhadap ancaman anggota gerak tersebut (limb threatening). Metode basic trauma
life support dan ATLS (advanced trauma life
support) yang telah
mendunia dan semua dokter umum telah membaca, memahami, mempelajari dan melatih
(training) selama pendidikan sebagai
dasar tindakan pertolongan yang sangat sistematis sebagai pijakan bagi
relawan/tim/residen.
Ada
tiga kelompok man power pada pertolongan
pertama pada korban/pasien yang mengalami kegawatan di lapangan kecelakaan atau
bencana yang dapat menentukan prognosis korban/pasien tersebut yaitu:
1. KELOMPOK PERTAMA
Kelompok
pertama adalah tim pertolongan primer terdiri dari seorang dokter dan seorang
perawat dengan beberapa anggota di ambulans RS/PUSKESMAS yang sudah terlatih
dan berpengalaman menanggulangi korban kecelakaan/bencana. Kelompok ini
merupakan bagian/instalasi tersendiri RS (Rumah Sakit/Puskesmas) dalam
memberikan pelayan 24 jam kepada masyarakat yang disertai ambulans dengan
fasilitas alat/instrumen untuk pertolongan primer (first aid
kits).
2. KELOMPOK KEDUA
Kelompok
kedua adalah residen jaga di IGD RS pusat trauma terdiri dari residen bedah
seperti: bedah umum, orthopaedi, digestif, dll. dan non bedah seperti residen
penyakit dalam, anak, syaraf, dll, yang menentukan permasalahan korban/pasien
dan memberikan pertolongan primer dengan alat yang cukup komplit dan canggih (high-tech instruments). Tindakan mereka juga menentukan
prognosis (outcome) korban/pasien tersebut. Residen
tersebut dalam pendidikan spesialis sebagai pendamping dokter spesialis sesuai
keahliannya.
3. KELOMPOK KETIGA
Kelompok
ketiga adalah realawan atau sekelompok masyarakat umum melalui latihan
pertolongan primer dengan alat yang serba minimal agar dapat membantu/menolong
korban/pasien dalam kondisi kritis kemudian menghubungi kelompok pertama yang
terdekat atau langsung membawa korban/pasien ke RS pusat trauma/RS terdekat/
PUSKESMAS berdasarkan keparahan, keselamatan (safety)
korban/pasien dalam perjalanan (transportation)
dengan memperhitungkan golden period.
3. KETERAMPILAN
Ketiga
kelompok ini sudah mendapat latihan, pendidikan dan keterampilan memberikan
pertolongan primer pada korban/pasien kecelakaan atau bencana. Keterampilan mereka pada pertolongan primer
di tempat kecelakaan/bencana atau residen jaga IGD yaitu keselamatan nyawa dan kemudian
diikuti keselamatan anggota gerak (life-limb saving)
sebagai berikut:
a.
KEBUTUHAN OKSIGEN
Keterampilan relawan/tim pertolongan primer/residen jaga IGD
mempririotaskan kebutuhan oksigen, sehingga relawan/tim/residen tersebut mampu mengatasi
gangguan masuk oksigen dan distribusi/sirkulasi seperti: mengatasi gangguan
jalan masuk seperti jalan nafas (total/partial airway
obstruction) dengan memberikan oksigen dan menjaga dan memperbaiki
mekanisme pernafasan (ventilation). Kemudian
diikuti tindakan mengatasi dan menghentikan perdarahan seperti melakukan
penutupan luka dan stabilitas hemodinamik (hemodynamic stability)
di tempat kecelakaan/bencana atau di IGD RS. Rinci pada penjelasan dapat
dilihat di life saving atau pada ATLS disingkat
dengan ABC (airways, breathing dan circulation).
b.
EKSTRIKASI KORBAN/PASIEN
Keterampilan relawan/tim/residen pertolongan primer mengatasi
pembebasan korban/pasien akibat jepitan/himpitan sesuatu benda berat yang
disebut keterampilan ekstrikasi pada kecelakaan/bencana karena dapat
mengabkibatkan kerusakan otot sehingga menimbulkan sindrom kras (crush syndrome). Kondisi ini dapat berakhir dengan kematian.
Pertolongan ekstrikasi tersebut harus dikerjakan bersamaan dengan keterampilan
pertama di atas.
c.
IMMOBILISASI
Keterampilan stabilisasi/immobilisasi fraktur dan triase
korban/pasien di tempat kecelakaan/bencana oleh relawan atau tim pertolongan
primer dengan pertimbangan jarak RS yang dituju, golden
period dan indikasi manajemen yang akan dilakukan. Bila
korban/pasien langsung masuk ke RS pusat trauma maka residen jaga IGD harus
melakukan/mempertahankan atau meneruskan pertolongan primer yang sudah
dilakukan sebelum dikonsultasikan ke dokter spesialis atau dibawa ke tempat
investigasi atau pemeriksaan yang lebih rinci. Relawan atau tim atau residen
jaga IGD harus yakin setelah melakukan pertolongan life-saving
sampai korban/pasien stabil dan mempertahankannya.
d.
TRANSPORTASI
Ketrampilan transportasi oleh relawan atau tim pertolongan
primer dari tempat kecelakaan/bencana ke RS pusat trauma atau RS terdekat yang
mempunyai fasilitas/PUSKESMAS secepatnya dengan pertimbangan golden period. Tim harus memahami waktu keselamatan
korban/pasien hanya dalam kurun waktu 1 jam setelah kecelakaan atau bencana. Oleh
karena itu harus memikirkan kendaraan yang digunakan dengan fasilitas yang
tersedia. Perlu diketahui bahwa setiap kelebihan waktu 30 menit maka angka
kematian korban/pasien meningkat tiga kali lipat.
Desain atau Ilustrasi 3 adalah alur pertolongan primer pada
kegawatan korban/pasien akibat trauma energi berat seperti dibawah ini:
Keterangan:
1. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan atau penyempurnaan life saving dapat dilakukan di PUSKESMAS karena waktu ke RS yang mempunyai fasilitas melebihi “golden periode”
2. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan dan penyempurnaan life saving dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan di RS KABUPATEN dengan memperhitungkan “golden periode”
3. Korban/pasien
membutuhkan tindakan kelanjutan atau penyempurnaan life saving
dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan di
RS PUSAT TRAUMA dengan kebutuhan alat-alat high-tech dan
juga perlu memperhitungkan “golden periode”
4. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan dan penyempurnaan life saving dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan di RS SWASTA dengan memperhitungkan “golden periode” serta berdasarkan permintaan korban atau pasien atau keluarga atau berhubungan dengan ansuransi. Dapat juga sebaliknya korban/pasien dindahkan ke RS pemerintan dan sebaliknya dengan alasan seperti di atas.
5.
Korban/pasien
membutuhkan tindakan kelanjutan atau penyempurnaan life saving
dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan
seperti PUSKESMAS merujuk ke RS KABUPATEN atau langsung ke RS PUSAT TRAUMA
karena membutuhkan alat-alat high-tech dan
juga perlu memperhitungkan “golden periode”
atau sebaliknya untuk pasca tindakan.
B.
PATOFISIOLOGI
Setiap
trauma energi berat dapat berakhir dengan morbiditas bahkan mortalitas pada
korban/pasien bila dibiarkan tanpa manajemen yang memadai. Secara patofisiologi
trauma energi berat dapat berakibat terjadinya gangguan kebutuhan oksigen pada
aktifitas sel-sel tubuh korban/pasien. Adapun aktifitas atau kehidupan sel-sel
tubuh manusia sangat tergantung kebutuhan oksigen yang memadai (adequate oxygen consumption). Oleh karena itu, secara tidak
langsung aktifitas sel tubuh membutuhkan jumlah oksigen yang diterima (oxygen delivery) oleh sel-sel tersebut dalam arti sesuai
dengan kebutuhannya (oxygen consumption).
Apabila kecukupan atau konsumsi oksigen tersebut tidak memadai/tidak tercapai
maka aktifitas sel-sel organ tubuh terganggu dan dapat terjadi nekrosis
terutama bila tanpa dilakukan tindakan pencegahan sehingga berimpak pada
kehidupan korban atau pasien yang berakhir dengan kecacatan bahkan
kematian.
Berdasarkan keterangan di atas maka setiap
trauma energi berat dapat menimbulkan gangguan keseimbangan penyampaian oksigen
dengan kebutuhan normal oksigen untuk aktifitas kehidupan sel organ-organ tubuh
manusia tersebut. Bahkan ada beberapa publikasi penelitian yang menyimpulkan
bahwa kekurangan oksigen di otak dalam kurun 5 menit dapat mengakhiri kehidupan
korban/pasien.
Kematian
korban/pasien akibat trauma energi berat merupakan peringkat pertama antara
umur 18-44 tahun atau 80% pada pasien umur <34 tahun. Kematian korban/pasien
tersebut meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Kematian akibat komplikasi
gagal ginjal pada sindrom kras sebesar 3-50%. Prosentase kematian akibat trauma
energi berat sangat bervariasi dan sangat tergantung pengalaman dan
keterampilan dari relawan/tim /residen memberikan pertolongan primer atau pre-hospital care atau initial treatment
dengan fasilitas di tempat kecelakaan/bencana dan IGD RS pusat trauma.
Adapun angka kematian di Negara Indonesia
masih tinggi bila dibandingkan angka di Negara Maju seperti yang telah
dituliskan di atas. Hal ini dapat dipahami bahwa Negara Indonesia adalah Negara
yang masih berkembang dengan beribu-ribu pulau, berbagai etnis,
infrastruktur/transportasi yang masih belum memadai disertai manpower dan fasilitas pelayanan manajemen korban/pasien
akibat trauma energi berat masih minimal serta kultur masyarakat. Sebagai
contoh RS pusat trauma dengan fasilitas high-tech equipment
hanya di RS propinsi sehingga jarak transportasi korban/pasien sangat jauh.
Perlu diketahui bahwa kondisi ini sangat menentukan hasil pertolongan primer
korban/pasien akibat trauma energi berat masih diluar harapan kita semuanya.
Solusi atau
jalan keluar adalah PENCEGAHAN merupakan jalan terbaik dan murah tapi hal ini
sangat tergantung juga pada kultur daerah setempat, pemenuhan jumlah tenaga
ahli (manpower) pelayanan, infrastruktur dan geografis
Negara Indonesia yang rentan bencana, biaya kesehatan dan politik pemerintahan
harus mendukung dan tentunya terakhir adalah PELATIHAN BERKELANJUTAN serta
kesadaran partisipasi masyarakat/tim pertolongan primer dan residen pada kecelakaan/bencana
tersebut.
Berdasarkan
keterangan di atas dapat dismpulkan bahwa setiap trauma energi berat,
masyarakat sebagai relawan atau tim pertolongan primer/residen jaga IGD harus
memikirkan adanya ancaman nyawa (life threatening)
dan ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak sistem lokomotor (limb threatening). Kedua ancaman tersebut harus dilakukan manajemen
secepatnya (emergensi). Ancaman nyawa tersebut adalah pririotas pertama dan
utama dalam memberikan tindakan life saving
sampai stabil dan kemudian mempertahankannya yang diikuti tindakan limb saving pada anggota gerak.
Tujuan
penulisan ini adalah mengimplementasikan pertolongan primer atau pre-hospital care/primary care/initial care pada
korban/pasien trauma energi berat secara praktis berdasarkan pengetahuan medis
(basic and clinical sciences). Dengan
demikian relawan/tim pertolongan primer/residen jaga IGD dapat memahami
tindakan yang dilakukan seperti mencegah atau meminimalisir luaran (outcome) kematian atau kecacatan (disability)
terhadap ancaman yang dihadapi korban/pasien tersebut di atas.
MANAJEMEN PADA TRAUMA ENERGI BERAT
Ada dua macam tindakan manajemen emergensi pada korban/pasien akibat trauma energi berat yaitu melakukan keselamatan nyawa (life saving) terhadap life threatening dan kemudian diikuti tindakan keselamatan terhadap ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak (limb saving) terhadap limb threatening korban atau pasien. Oleh karena itu, relawan/tim pertolongan primer/residen jaga IGD harus mempunyai keterampilan pertolongan primer sebagai berikut:
I. ANCAMAN NYAWA (LIFE THREATENING)
Seorang wanita umur 17 tahun mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi menabrak belakang truk 1 jam yang lalu dibawa oleh kendaraan umum ke IGD RS pusat trauma.
Pada pemeriksaan kesadaran korban/pasien dilakukan oleh residen jaga secara AVPU scale, korban hanya merespons stimuli rasa nyeri (pain stmulation response). Vital sign sebagai berikut: Tekanan darah (blood pressure): 90/70 mmHg, nadi (pulse rate): 120, respiratory rate: 30 kali, dan urine output: 10 cc/jam
for further reading please download here
No comments:
Post a Comment