Tuesday, October 24, 2017

PRE-HOSPITAL CARE OF HIGH ENERGY TRAUMA PATIENT

(PRE-HOSPITAL CARE OF HIGH ENERGY TRAUMA PATIENT)


PENDAHULUAN

Setiap korban/pasien akibat trauma pada pertolongan primer/prehospital care atau pertolongan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus dipikirkan apakah ada ancaman nyawa (life threatening) yang kemudian dilanjutkan ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak (limb threatening) akibat trauma energi ringan atau berat (low or high energy trauma). Kedua macam energi tersebut yang menimpa korban/pasien tersebut dapat menimbulkan kerusakan jaringan lunak atau tulang saja atau kedua jaringan tersebut atau disertai trauma di derah lain lain seperti Ilustrasi 1 di bawah ini. 



Bila trauma tersebut adalah trauma energi berat dapat terjadi kerusakkan jaringan tulang dan jaringan lunak sangat hebat/berat (severe bone-soft tissues damage) dan/bahkan dapat disertai kerusakan organ-organ di daerah lain seperti trauma kepala,  torak, abdomen, retroperitoneal dan pelvis yang disebut politrauma atau trauma multipel. Korban/pasien tersebut mungkin sadar atau tidak sadar atau sadar kemudian berlanjut tidak sadar. Kerusakan jaringan lunak akibat trauma energi berat berimpak pada kerusakan kulit, jaringan di bawah kulit seperti otot atau tendon atau ligamen, pembuluh darah, dan saraf tepi. Kerusakan tulang dapat menimbulkan fraktur komminutif atau fraktur segmental atau sebagian fragmen fraktur terlepas (bone loss) atau beberapa fraktur pada tulang atau beberapa fraktur pada tulang yang sama atau beberapa tulang secara bersamaan yang disebut fraktur multipel atau terjadi dislokasi sendi baik tertutup maupun terbuka dengan komplikasi seperti ilustrasi 2.




A.      PERTOLONGAN PRIMER

Pertolongan primer atau primary care/pre-hospital care atau kata lain initial management pada area kecelakaan/bencana atau di IGD RS pusat trauma adalah menentukan kondisi kritis akibat tidak dipenuhi kebutuhan oksigen korban/pasien. Relawan/tim/residen jaga RS pusat trauma harus mempunyai keterampilan guna menentukan manajemen kebutuhan oksigen yang masuk ke pulmo dan distribusinya ke sel-sel tubuh korban/pasien akibat trauma energi berat (high energy injury). Sehingga prioritas pertolongan primer adalah memfokuskan gangguan kebutuhan oksigen sebagai tindakan penyelamatan nyawa (life saving) terhadap ancaman kehidupan korban/pasien (life threatening) dan kemudian dilanjutkan tindakan penyelamatan terhadap ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak (limb saving) terhadap ancaman anggota gerak tersebut (limb threatening). Metode basic trauma life support dan ATLS (advanced trauma life support) yang telah mendunia dan semua dokter umum telah membaca, memahami, mempelajari dan melatih (training) selama pendidikan sebagai dasar tindakan pertolongan yang sangat sistematis sebagai pijakan bagi relawan/tim/residen. 

Ada tiga kelompok man power pada pertolongan pertama pada korban/pasien yang mengalami kegawatan di lapangan kecelakaan atau bencana yang dapat menentukan prognosis korban/pasien tersebut yaitu:  

1.       KELOMPOK PERTAMA
Kelompok pertama adalah tim pertolongan primer terdiri dari seorang dokter dan seorang perawat dengan beberapa anggota di ambulans RS/PUSKESMAS yang sudah terlatih dan berpengalaman menanggulangi korban kecelakaan/bencana. Kelompok ini merupakan bagian/instalasi tersendiri RS (Rumah Sakit/Puskesmas) dalam memberikan pelayan 24 jam kepada masyarakat yang disertai ambulans dengan fasilitas alat/instrumen untuk pertolongan primer (first aid kits).

2.       KELOMPOK KEDUA
Kelompok kedua adalah residen jaga di IGD RS pusat trauma terdiri dari residen bedah seperti: bedah umum, orthopaedi, digestif, dll. dan non bedah seperti residen penyakit dalam, anak, syaraf, dll, yang menentukan permasalahan korban/pasien dan memberikan pertolongan primer dengan alat yang cukup komplit dan canggih (high-tech instruments). Tindakan mereka juga menentukan prognosis (outcome) korban/pasien tersebut. Residen tersebut dalam pendidikan spesialis sebagai pendamping dokter spesialis sesuai keahliannya.

3.       KELOMPOK KETIGA

Kelompok ketiga adalah realawan atau sekelompok masyarakat umum melalui latihan pertolongan primer dengan alat yang serba minimal agar dapat membantu/menolong korban/pasien dalam kondisi kritis kemudian menghubungi kelompok pertama yang terdekat atau langsung membawa korban/pasien ke RS pusat trauma/RS terdekat/ PUSKESMAS berdasarkan keparahan, keselamatan (safety) korban/pasien dalam perjalanan (transportation) dengan memperhitungkan golden period


3.       KETERAMPILAN
Ketiga kelompok ini sudah mendapat latihan, pendidikan dan keterampilan memberikan pertolongan primer pada korban/pasien kecelakaan atau bencana.  Keterampilan mereka pada pertolongan primer di tempat kecelakaan/bencana atau residen jaga IGD yaitu keselamatan nyawa dan kemudian diikuti keselamatan anggota gerak (life-limb saving) sebagai berikut:

a.       KEBUTUHAN OKSIGEN

Keterampilan relawan/tim pertolongan primer/residen jaga IGD mempririotaskan kebutuhan oksigen, sehingga relawan/tim/residen tersebut mampu mengatasi gangguan masuk oksigen dan distribusi/sirkulasi seperti: mengatasi gangguan jalan masuk seperti jalan nafas (total/partial airway obstruction) dengan memberikan oksigen dan menjaga dan memperbaiki mekanisme pernafasan (ventilation). Kemudian diikuti tindakan mengatasi dan menghentikan perdarahan seperti melakukan penutupan luka dan stabilitas hemodinamik (hemodynamic stability) di tempat kecelakaan/bencana atau di IGD RS. Rinci pada penjelasan dapat dilihat di life saving atau pada ATLS disingkat dengan ABC (airways, breathing dan circulation).

b.       EKSTRIKASI KORBAN/PASIEN

Keterampilan relawan/tim/residen pertolongan primer mengatasi pembebasan korban/pasien akibat jepitan/himpitan sesuatu benda berat yang disebut keterampilan ekstrikasi pada kecelakaan/bencana karena dapat mengabkibatkan kerusakan otot sehingga menimbulkan sindrom kras (crush syndrome). Kondisi ini dapat berakhir dengan kematian. Pertolongan ekstrikasi tersebut harus dikerjakan bersamaan dengan keterampilan pertama di atas.

c.       IMMOBILISASI

Keterampilan stabilisasi/immobilisasi fraktur dan triase korban/pasien di tempat kecelakaan/bencana oleh relawan atau tim pertolongan primer dengan pertimbangan jarak RS yang dituju, golden period dan indikasi manajemen yang akan dilakukan. Bila korban/pasien langsung masuk ke RS pusat trauma maka residen jaga IGD harus melakukan/mempertahankan atau meneruskan pertolongan primer yang sudah dilakukan sebelum dikonsultasikan ke dokter spesialis atau dibawa ke tempat investigasi atau pemeriksaan yang lebih rinci. Relawan atau tim atau residen jaga IGD harus yakin setelah melakukan pertolongan life-saving sampai korban/pasien stabil dan mempertahankannya.

d.       TRANSPORTASI


Ketrampilan transportasi oleh relawan atau tim pertolongan primer dari tempat kecelakaan/bencana ke RS pusat trauma atau RS terdekat yang mempunyai fasilitas/PUSKESMAS secepatnya dengan pertimbangan golden period. Tim harus memahami waktu keselamatan korban/pasien hanya dalam kurun waktu 1 jam setelah kecelakaan atau bencana. Oleh karena itu harus memikirkan kendaraan yang digunakan dengan fasilitas yang tersedia. Perlu diketahui bahwa setiap kelebihan waktu 30 menit maka angka kematian korban/pasien meningkat tiga kali lipat.

Desain atau Ilustrasi 3 adalah alur pertolongan primer pada kegawatan korban/pasien akibat trauma energi berat seperti dibawah ini:



Keterangan: 
1. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan atau penyempurnaan life saving dapat dilakukan di PUSKESMAS karena waktu ke RS yang mempunyai fasilitas  melebihi “golden periode”

2. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan dan penyempurnaan life saving dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan di RS KABUPATEN dengan memperhitungkan “golden periode” 

3. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan atau penyempurnaan life saving dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan di RS PUSAT TRAUMA dengan kebutuhan alat-alat high-tech dan juga perlu memperhitungkan “golden periode” 

4. Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan dan penyempurnaan life saving dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan di RS SWASTA dengan memperhitungkan “golden periode” serta berdasarkan permintaan korban atau pasien atau keluarga atau berhubungan dengan ansuransi. Dapat juga sebaliknya korban/pasien dindahkan ke RS pemerintan dan sebaliknya dengan alasan seperti di atas.

5.      Korban/pasien membutuhkan tindakan kelanjutan atau penyempurnaan life saving dan perencanaan limb saving dapat dikerjakan seperti PUSKESMAS merujuk ke RS KABUPATEN atau langsung ke RS PUSAT TRAUMA karena membutuhkan alat-alat high-tech dan juga perlu memperhitungkan “golden periode” atau sebaliknya untuk pasca tindakan.

B.      PATOFISIOLOGI

Setiap trauma energi berat dapat berakhir dengan morbiditas bahkan mortalitas pada korban/pasien bila dibiarkan tanpa manajemen yang memadai. Secara patofisiologi trauma energi berat dapat berakibat terjadinya gangguan kebutuhan oksigen pada aktifitas sel-sel tubuh korban/pasien. Adapun aktifitas atau kehidupan sel-sel tubuh manusia sangat tergantung kebutuhan oksigen yang memadai (adequate oxygen consumption). Oleh karena itu, secara tidak langsung aktifitas sel tubuh membutuhkan jumlah oksigen yang diterima (oxygen delivery) oleh sel-sel tersebut dalam arti sesuai dengan kebutuhannya (oxygen consumption). Apabila kecukupan atau konsumsi oksigen tersebut tidak memadai/tidak tercapai maka aktifitas sel-sel organ tubuh terganggu dan dapat terjadi nekrosis terutama bila tanpa dilakukan tindakan pencegahan sehingga berimpak pada kehidupan korban atau pasien yang berakhir dengan kecacatan bahkan kematian.   

Berdasarkan keterangan di atas maka setiap trauma energi berat dapat menimbulkan gangguan keseimbangan penyampaian oksigen dengan kebutuhan normal oksigen untuk aktifitas kehidupan sel organ-organ tubuh manusia tersebut. Bahkan ada beberapa publikasi penelitian yang menyimpulkan bahwa kekurangan oksigen di otak dalam kurun 5 menit dapat mengakhiri kehidupan korban/pasien.
Kematian korban/pasien akibat trauma energi berat merupakan peringkat pertama antara umur 18-44 tahun atau 80% pada pasien umur <34 tahun. Kematian korban/pasien tersebut meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Kematian akibat komplikasi gagal ginjal pada sindrom kras sebesar 3-50%. Prosentase kematian akibat trauma energi berat sangat bervariasi dan sangat tergantung pengalaman dan keterampilan dari relawan/tim /residen memberikan pertolongan primer atau pre-hospital care atau initial treatment dengan fasilitas di tempat kecelakaan/bencana dan IGD RS pusat trauma.

 Adapun angka kematian di Negara Indonesia masih tinggi bila dibandingkan angka di Negara Maju seperti yang telah dituliskan di atas. Hal ini dapat dipahami bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang masih berkembang dengan beribu-ribu pulau, berbagai etnis, infrastruktur/transportasi yang masih belum memadai disertai manpower dan fasilitas pelayanan manajemen korban/pasien akibat trauma energi berat masih minimal serta kultur masyarakat. Sebagai contoh RS pusat trauma dengan fasilitas high-tech equipment hanya di RS propinsi sehingga jarak transportasi korban/pasien sangat jauh. Perlu diketahui bahwa kondisi ini sangat menentukan hasil pertolongan primer korban/pasien akibat trauma energi berat masih diluar harapan kita semuanya.

Solusi atau jalan keluar adalah PENCEGAHAN merupakan jalan terbaik dan murah tapi hal ini sangat tergantung juga pada kultur daerah setempat, pemenuhan jumlah tenaga ahli (manpower) pelayanan, infrastruktur dan geografis Negara Indonesia yang rentan bencana, biaya kesehatan dan politik pemerintahan harus mendukung dan tentunya terakhir adalah PELATIHAN BERKELANJUTAN serta kesadaran partisipasi masyarakat/tim pertolongan primer dan residen pada kecelakaan/bencana tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas dapat dismpulkan bahwa setiap trauma energi berat, masyarakat sebagai relawan atau tim pertolongan primer/residen jaga IGD harus memikirkan adanya ancaman nyawa (life threatening) dan ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak sistem lokomotor (limb threatening). Kedua ancaman tersebut harus dilakukan manajemen secepatnya (emergensi). Ancaman nyawa tersebut adalah pririotas pertama dan utama dalam memberikan tindakan life saving sampai stabil dan kemudian mempertahankannya yang diikuti tindakan limb saving pada anggota gerak.

Tujuan penulisan ini adalah mengimplementasikan pertolongan primer atau pre-hospital care/primary care/initial care pada korban/pasien trauma energi berat secara praktis berdasarkan pengetahuan medis (basic and clinical sciences). Dengan demikian relawan/tim pertolongan primer/residen jaga IGD dapat memahami tindakan yang dilakukan seperti mencegah atau meminimalisir luaran (outcome) kematian atau kecacatan (disability) terhadap ancaman yang dihadapi korban/pasien tersebut di atas.   

 MANAJEMEN PADA TRAUMA ENERGI BERAT

Ada dua macam tindakan manajemen emergensi pada korban/pasien akibat trauma energi berat yaitu melakukan keselamatan nyawa (life saving) terhadap life threatening dan kemudian diikuti tindakan keselamatan terhadap ancaman kehidupan/fungsi anggota gerak (limb saving) terhadap limb threatening korban atau pasien. Oleh karena itu, relawan/tim pertolongan primer/residen jaga IGD harus mempunyai keterampilan pertolongan primer sebagai berikut: 

I. ANCAMAN NYAWA (LIFE THREATENING)

                  Seorang wanita umur 17 tahun mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi menabrak belakang truk 1 jam yang lalu dibawa oleh kendaraan umum ke IGD RS pusat trauma.
Pada pemeriksaan kesadaran korban/pasien dilakukan oleh residen jaga secara AVPU scale, korban hanya merespons stimuli rasa nyeri (pain stmulation response).  Vital sign sebagai berikut: Tekanan darah (blood pressure): 90/70 mmHg, nadi (pulse rate): 120, respiratory rate: 30 kali, dan urine output: 10 cc/jam

for further reading please download here

No comments:

Post a Comment