INFORMED CONSENT
(Pada Kelainan
Orthopaedi dan Traumatologi)
PENDAHULUAN
Maraknya atau banyaknya
ketidakpuasan (unsatisfaction) pasien
serta permasalahan hukum yang dihadapi dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan sistem lokomotor maka perlu menjadi perhatian atau mengingat kembali
masalah informed consent, etika
kedokteran dan profesionalisme. Persetujuan atau informed consent pengobatan atau pembedahan kepada pasien adalah
keharusan sebelum dilakukan tindakan. Kelemahan atau kesalahan mendapatkan informed consent dapat menimbulkan
masalah hukum (legal action). Pasien
mempunyai hak menolak pengobatan atau tindakan pembedahan yang akan
direncanakan Oleh sebab itu, informed
consent adalah persetujuan pasien dalam kondisi sadar terhadap pengobatan
atau tindakan pembedahan sistem lokomotor setelah mendapatkan informasi tujuan,
metode atau prosedur, keuntungan dan kerugian yang akan didapatkannya.
Pada tulisan ini kami
mencoba mengingatkan kembali tentang informed
consent, etika kedokteran (bioethics) dan profesionalisme dokter,
residen atau ahli bedah orthopaedi dan traumatologi pada pelayanan kesehatan sistem
lokomotor tanpa mengabaikan hak pasien.
INFORMASI KELAINAN
SISTEM LOKOMOTOR
Informasi
kelainan sistem lokomotor merupakan materi diskusi atau komunikasi yang dijelaskan
oleh dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi kepada pasien seperti:
a.
Diagnosis dan perencanaan
terapi atau prosedur pembedahan kelainan sistem lokomotor dengan hasil akhir atau
luaran (outcome) terbaik yang
direkomendasi oleh dokter.
Informasi tersebut termasuk keuntungan,
risiko atau sesuatu yang tidak menyenangkan atau kerugian, prosedur alternatif
atau luaran bila tidak dilakukan manajemen tersebut.
b.
Perkiraan lama waktu pengobatan
atau pembedahan pada kelainan sistem lokomotor yang diperkirakan dengan deskripsi yang jelas dan rinci
c.
Persetujuan atau informed consent oleh pasien setelah
informasi tersebut di atas disampaikan tanpa paksaan dan pasien sadar serta
kompeten memahaminya
Informed consent pada kelainan sistem lokomotor merupakan proteksi dan keamanan pasien (patient safety and protection) dengan maksud (a)
penguasaan diri atau self-governance,
(b) merealisasi diri atau self-realization
dan (c) pasien mempunyai hak untuk menentukan (actual autonomy). Untuk mendapat informed consent perlu membicarakan hak
dan karakter seorang dokter dan pasien
A.
DOKTER
1.
Dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi harus harus seorang
komunikator
a.
Pelayanan kesehatan
kelainan sistem lokomotor oleh dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi kepada pasien harus
didasarkan diagnosis yang tepat. Untuk mencapai diagnosis tersebut memerlukan
analisis data yang objektif dan tepat seperti data riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, tes klinis khusus, serta pemeriksaan tambahan atau
investigasi. Kesemuanya membutukan pengetahuan komunikasi medis antara dokter dan pasien. Sehingga komunikasi di bidang kedokteran adalah
keberhasilan penyampaian pesan oleh dokter kepada pasien atau
sebaliknya. Apabila pesan tersebut tidak sampai kepada pasien dalam arti tidak
dapat dipahaminya maka dokter tersebut bukan seorang komunikator. Oleh sebab itu, tujuan komunikasi sebagai
berikut:
- Mendapatkan persetujuan atau informed consent
- Mengumpulkan data pasien (identitas dan klinis) kemudian melakukan analisis untuk mencapai diagnosis
- Melakukan pendidikan kepada pasien (patient education) terhadap penderitaan, pengobatan sesuai dengan harapan yang dicapai dengan segala risikonya.
- Menyampaikan berita atau diagnosis kelainan sistem lokomotor yang tidak menyenangkan yang disebut delivery “bad news”
b.
Implementasi
manajemen harus berdasarkan persetujuan pasien yang disebut informed consent. Untuk mendapatkan informed consent tersebut dokter/residen/ahli orthopaedi dan
traumatologi memerlukan
komunikasi, diskusi, atau saling bertukan pandangan (sharing) dari opsi yang
terbaik dan disukai pasien.
2.
Dokter adalah seorang yang menjalankan tugas berdasarkan etika kedokteran dan
profesional
Dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi selalu berorientasi
manajemen yang terbaik dan disetjui oleh pasien. Oleh sebab itu dokter tersebut
harus:
a.
Menjalankan etika kedokteran
yaitu mempunyai alasan moral dan melakukannya secara profesional. Etika kedokteran
(medical ethic/bioethics) artinya:
- Dokter harus mempromosikan tujuan manajemen dan meminimalisir kesalahan yang dapat terjadi.
- Dokter adalah seorang yang dapat dipercaya dan akuntabel
- Dokter mandapatkan kepercayaan masyarakat atau public support terhadap manajemen yang akan direncanakan
- Dokter harus memberikan pelayanan multidisiplin terhadap kasus-kasus yang sulit, dan
- Dokter selalu mempunyai karakter sosial.
b.
Mempunyai moralitas dan
normatif yang mampu membedakan buruk dan baik atau benar dan salah yang
dilakukannya kepada pasien
Dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi selalu memberikan pelayanan kesehatan sistem
lokomotor dengan karakter etika kedokteran seperti:
- Dokter harus berorientasikan azas manfaat (beneficence) dan menjauhi malaficence yang artinya “do no harm”. Contoh seorang pasien menderita kelainan sistem lokomotor dapat dilakukan manajemen konservatif atau pembedahan. Apabila luaran (hasil akhir) kedua prosedur tersebut sama maka dokter atau residen/ahli orthopaedi dan traumatologi yang profesional, beretika, dan bermoral menganjurkan atau merekomendasikan terapi konservatif yang didasari azas manfaat tadi dan tidak memberatkan pasien (“do no harm”).
- Dokter harus menghormati hak pasien atas penentuan pilihan setelah mendapatkan penjelasan informasi kelainan sistem lokomotor tersebut di atas. Oleh karena itu manajemen yang akan dilakukan berdasarkan penilaian dan kepercayaan pasien, dan
- Dokter harus memberikan pelayanan yang berkeadilan.
B.
PASIEN
Pasien harus mampu menilai persyaratan informed consent seperti:
a.
Pasien atau dia mempunyai
kapabilitas dan kompeten memahami informasi yang diberikan dokter seperti umur sudah
dewasa dan sadar. Dia tidak menderita
gangguan mental, intelektual, dementia, dan kerusakan otak.
b.
Pasien mampu memahami
materi informasi kelainan sistem lokomotor yang telah disampaikan oleh dokter karena informasi tersebut
jelas dan rekomendasi perencanaan pengobatan atau tindakan pembedahan diterangkan
secara komprehensif. Informasi tersebut juga
disampaikan komplit dan ilmiah (knowledgeable)
serta tanpa paksaan.
c.
Bahasa pasien sama
dengan bahasa dokter sewaktu menyampaikan informasi tersebut. Bila tidak maka
harus memakai interpreter yang dapat memahami terminologi kedokteran seperti
perawat.
d.
Rekomendasi
perencanaan manajemen atau pembedahan sistem
lokomotor oleh dokter adalah kesukaan
pasien (penentuan perencanaan terbaik) dan pasien mempunyai wewenang menerima
atau menolak perencaan tersebut
PROSEDUR MENDAPATKAN INFORMED CONSENT
Komunikasi atau
diskusi dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi dengan pasien pada
penyampaian informasi kelainan sistem lokomotor sangat penting untuk mendapatkan
informed consent. Diskusi informasi tersebut
harus dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten. Ada dua macam materi informasi
tentang kondisi kelainan (illness) sistem
lokomotor pasien yang berbeda dalam berkomunikasi dan berdiskusi tapi pada
prinsipnya adalah sedikit sama, yaitu:
a.
Diagnosis
kelainan sistem lokomotor dengan prognosis fungsi baik
b.
Diagnosis kelainan
sistem lokomotor dengan prognosis fungsi tidak baik atau cacat
sampai kematian atau disebut “bad news”
Materi informasi
keparahan penyakit sistem lokomotor dengan prognosis jelek, cacat sampai kematian merupakan “bad news” atau berita yang tidak
menyenangkan. Komunikasi dan diskusi antara dokter dengan pasien pada berita
tersebut dapat menyebabkan pasien secara drastis dan negatif terhadap masa
depannya sehingga dapat menimbulkan defisit kognitif.
Ada tiga macam berita
kelainan sistem lokomotor tidak menyenangkan (bad news)
yang perlu diketahui oleh dokter seperti:
1.
Pasien menghadapi
kematian (end of life) atau mati
contoh hypovolemic shock akibat
pembuluh darah rusak bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya dapat
berakhir irreversible dan kematian. Contoh
lain adalah crush syndrome sehingga
terjadi kerusakkan ginjal akibat toksin rhabdomyolisis,
dan lain-lain.
2.
Penyakit kronis
karena bermasalah biaya pengobatan yang lama dan mahal, waktu, sosial,
psikologi pasien, dan dampak negatif pada pasien dan keluarganya. Contoh
tetraplegia permanen akibat trauma daerah tulang leher, paraplegi akibat
kelainan daerah lumbal, dan lain-lain.
4.
Informasi yang tidak
menyenangkan atau Unfavorable medical
information. Contoh: Perthes’ disease
grade 3 dan 4 yang berakhir kerusakkan kaput femoris, dan lain-lain.
Dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi yang kompeten harus memberikan informasi kelainan sistem lokomotor dan berdiskusi
kepada pasien dan keluarganya sebagai berikut:
1.
Pertama adalah
persiapan (setting-up):
Dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi menilai atau menentukan
tingkat pendidikan pasien, adat istidat/kultur masyarakat atau agama pasien,
dan bahasa yang digunakan pasien sehari-hari atau menggunakan penterjemah, dan
sebagainya. Pada kelainan sistem locomotor terutama dengan prognosis fungsi tidak
baik maka persiapannya adalah:
a.
Mempersiapkan privasi
pasien dan keluarganya.
b.
Menentukan
orang-orang yang ikut dalam diskusi seperti pasien dan keluarganya dan pihak
dokter serta menyiapkan kursi untuk duduk
c.
Mempersiapkan materi
yang ilmiah atau kepustakaan tentang penderitaan tersebut dan waktu berdiskusi,
kemudian
d.
Memperkenalkan diri
demikian juga semua orang-orang yang ikut.
2.
Kedua adalah
penjelasan diagmosis yang dia derita
a.
Dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi menjelaskan keparahan penyakit sistem
lokomotor (diagnosis) dengan prognosis
fungsi baik.
- Informasi diagnosis disampaikan oleh dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi harus berdasarkan data objektif dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan.
- Kemudian diikuti informasi klinis positif seperti fraktur femoris tidak mengalami gangguan pembuluh darah dan syaraf di bagian bawah dari fraktur tersebut. Contoh lain, kanker tulang di daerah lutut tersebut belum terjadi penyebaran ke paru-paru (metastasis) dan sebagainya.
- Dokter membuat kesimpulan keparahan penyakit sistem lokomotor pasien tersebut.
b.
Pada prognosis fungsi
jelek atau cacat bahkan sampai kematian, maka dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi sebelum
menjelaskan diagnosis maka dokter terebut harus:
- Mampu memahami persepsi (perception) pasien tentang kondisi penderitaan dengan cara:
- Meminta pasien menceritakan pengalaman penderitaannya serta pengobatan yang dia lakukan.
- Mendengarkan pasien tanpa interupsi
- Mampu menerima sesuatu yang mungkin kontradiksi dengan pendapat pribadi tapi jangan dilakukan konfrontasi.
- Meminta pasien ingin mengetahui (invite) tentang penderitaannya seperti:
- Dokter harus menerima hak pasien untuk menolak;
- Dokter harus memberikan jawaban semua pertanyaan apa saja yang dia inginkan.
- Mampu menceritakan pengetahuan medis tentang diagnosis pasien secara ilmiah (knowledgeable) kepada pasien seperti di atas
- Mampu memahami emosi (emotion) dan memberikan empati/merespon perasaan pasien dan keluarganya serta mengidentifikasi emosi pasien dan keluarganya, penyebab emosi, dan memberikan waktu mengeluarkan perasaan/emosi tersebut
3.
Ketiga adalah
perencanaan manajemen:
Dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi menjelaskan manajemen dengan prognosis baik maupun jelek sebagai berikut:
- Opsi manajemen harus luaran terbaik dengan alasan klinis secara ilmiah, rehabilitasi, dan siapa yang melakukan
- Keuntungan dan kerugian atau side effect/risiko dari perencaan tindakan tersebut dan bagaimana cara memonitor serta manajemen kerugian yang tidak diharapkan tersebut
- Komplikasi pasca tindakan yang direkomendasi tersebut dan cara memonitor dan manejemennya serta komplikasi dalam kurun lama atau longterm complications seperti kelainan fisik, emosi, sosial, seksual, dan lain sebagainya serta tindakan penanggulangnya (pencegahan)
- Opsi terapi alternatif atau tanpa dilakukan tindakan yang meliputi luaran dan prognosis
- Pengalaman dokter dalam melakukan tindakan yang direkomendasi tersebut terhadap pasien lain dengan keparahan diagnosis sama
- Kapan dilakukan tindakan tersebut dan pembiayaannya
- Diagnosis lain atau komorbiditas yang menyertai dan terapinya yang akan dilakukan oleh tim manajemen
4.
Keempat adalah
ringkasan dan strategi:
a.
Strategi atau ringkasan (strategy and summary), dan follow
up yaitu: (1) Dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi meminta
pertanyaan apakah mereka ada sesuatu yang perlu diklarifikasi seperti;
- Menutup penyampaian diagnosis, manajemen dan prognosis atau “bad news” serta mempersiapkan perencanaan selanjutnya dan kemudian.
- Memberikan agenda untuk pertemuan selanjutnya dalam rangka opsi yang akan dipilih pasien dan keluarga
b.
Dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi menilai pemahaman pasien tentang informasi kelainan sistem lokomotor yang sudah dijelaskan
tersebut di atas.
Persetujuan atau informed consent
harus tertulis seperti prosedur/metode, risiko atau komplikasi atau transfusi
darah yang diperlukan. Ada beberapa kondisi penyakit tidak memerlukan informed consent seperti:
1.
Dokter
melakukan pengamanan kehidupan
pasien (lifesaving) seperti
resusitasi kardiopulmoner atau resusitasi cairan.
2.
Dokter mencegah dampak serius pada kesehatan pasien dewasa dimana dia (pasien) tidak
mampu memberikan persetujuan. Contoh melakukan debridemen fraktur terbuka pada
pasien tidak sadar guna mencegah infeksi, dll.
3.
Dokter
melakukan tindakan emergensi pada pasien
anak-anak tapi dengan persetujuan orang tua pasien;
4.
Tindakan ECT (mental health act) dan lain-lain.
Persetujuan (informed consent)
yang valid bila pasien harus kompeten dan mempunyai kapabilitas persetujuan, tanpa
ada paksaan, dan persetujuan harus spesifik. Bila menolak persetujuan harus tertulis dan tanda tangan, diskusi sebaiknya direkam,
dan pasien dibolehkan mencari pendapat kedua (second opinion) atau alih rawat.
KESIMPULAN
Profesi dokter/residen/ahli
orthopaedi dan traumatologi sangat dimulyakan
oleh masyarakat; oleh sebab itu kepercayaan yang diberikan mereka jangan sampai
dikecewakan. Persetujuan pasien atau informed
consent pada pengobatan penyakit merupakan keharusan untuk dijalankan oleh dokter tersebut, maka dari
itu:
1.
Persiapan komuniksai
dan diskusi informasi dengan persyaratan sebagai berikut:
a.
Dokter: Pelayanan kesehatan selalu berlandaskan etika kedokteran dan
profesional berorientasi beneficence,
menjauhi malaficence, respek kepada
pasien dan berkeadilan
b.
Pasien:
Kompeten dan kapabel, sadar, dewasa, tidak mempunyai gangguan mental, intelektual, dementia, atau kerusakan otak. Bila
pasien anak-anak perlu ada persetujuan orang tua. Pasien mempunyai hak menerima
atau menolak dan meminta pendapat ahli lain (second opinion) atau alih rawat.
2.
Dokter
tersebut mampu menjelaskan diagnosis dan manajemen penyakit secara rinci
dan sistematis seperti:
a. Diagnosis secara tepat (akurat) dan
menginformasikannya kepada pasien baik dengan prognosis fungsi baik atau jelek
sampai kematian. Dokter mampu
merespon emosi denga empati
b.
Opsi
manajemen yang terbaik dengan tujuan yang dicapai, kerugian, komplikasi akut
maupun kurun waktu lama (longterm
complications) dengan cara memonitor dan pengobatan serta pencegahannya. Pengalaman
dan hasil akhir tentang manajemen yang direkomendasi tersebut. Waktu
pelaksanaan dan biaya serta alternatif manajemen lain dengan luaran dan
prognosis atau bila tidak dilakukan pengobatan
3.
Dokter/residen/ahli orthopaedi dan traumatologi menilai pemahaman pasien tentang informasi kelainan sistem lokomotor yang sudah dijelaskan
tersebut di atas.
Prof.
Armis SpB, SpOT
Guru
Besar Orthopaedi dan Traumatologi
Fakultas
Kedokteran UGM
RSUP
DR. SARDJITO
No comments:
Post a Comment