A.
PENDAHULUAN
1. Batasan (definisi)
Fraktur terbuka (open fractures) adalah diskontinuitas
struktur tulang yang berhubungan dengan dunia luar (external environment) akibat kerusakkan jaringan lunak dan kulit
penutup tulang yang mengalami lesi tersebut.Oleh karena itu, fraktur terbuka
rentan infeksi.
2.
EPIDEMIOLOGI
Insidensi fraktur terbuka di UK
36.0 per 100.000 populasi (2002 – 2004) dengan didominasi oleh pria, tapi
diatas umur 55 tahun didominasi oleh wanita.Berdasarkan RISKESDAS (riset
kesehatan dasar) di Indonesia 2013 dengan hasil fraktur terbuka 5.8% dari
seluruh kasus di Rumah Sakit. Penyebab kecelakaan lalu lintas adalah terbanyak
(42.8%) dari seluruh fraktur terbuka yang didominasi oleh akibat kecelakaan sepeda motor (40.6%) dan
kemudian diikuti jatuh (40.9%).
Tabel 1.The Epidemiology of Open
Fractures in Edinburgh in 2007 to 2008
Lokasi fraktur
|
jumlah
|
Open (%)
|
Gustilo III (%)
|
Diafisis
femur
|
91
|
5.5
|
60
|
Femur
distal
|
39
|
7.7
|
66.9
|
Tibia
proksimal
|
80
|
2.5
|
0
|
Diafisis tibia
|
73
|
21.9
|
56.2
|
Tibia
distal
|
52
|
3.8
|
50
|
Pergelangan
kaki
|
633
|
0.8
|
20
|
Humerus
diafisis
|
68
|
1.5
|
0
|
Forearm
proksimal
|
354
|
2.3
|
12.5
|
Forearm
|
60
|
11.7
|
0
|
Radius
distal
|
1147
|
06
|
0
|
Falang
jari
|
679
|
13.7
|
9.7
|
Pada publikasi lain menulis fraktur terbuka
sebanyak 3% dari semua fraktur seluruh anggota bawah dan 21.3% per 100.000
populasi setiap tahun (tabel 2).
Tabel 2. Lokasi fraktur
terbuka
Location
|
Total fractures
|
Open fractures
|
%
|
Upper limb
|
15.406
|
503
|
3.3
|
Lower limb
|
13.096
|
488
|
3.7
|
Shoulder girdle
|
1.448
|
3
|
0.2
|
pelvis
|
942
|
6
|
0.6
|
spine
|
683
|
0
|
0.0
|
total
|
31.575
|
1.000
|
3.17
|
3.
PATOLOGI
Klasifikasi Fraktur Terbuka
Klasifikasi fraktur terbuka sangat
penting karena dapat menentukan perencanaan tindakan dan prognosis pasien.
Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok (classification of open fractures) berdasarkan Gustilo dan Anderson
dengan perhitungan dan analisis fraktur terbuka tibia yang memperhatikan
penilaian derajat kerusakan jaringan lunak dan kontaminasi seperti:
a. FRAKTUR
TERBUKA DERAJAT I: Luka berukuran < 1 cm, umumnya akibat protrusi fragmen dari
dalam ke luar (in-out). Luka bersih dan kerusakkan jaringan
lunak hanya sedikit serta tidak ada periosteal
stripping. Garis fraktur simple
transverse atau short oblique fractures.
b. FRAKTUR
TERBUKA DERAJAT II: Luka berukuran > 1 cm, terjadi kerusakkan jaringan
sedang (moderate). Luka biasanya
akibat trauma dari luar ke dalam(out-in)
dan energi trauma cukup/sedang (moderate)
dengan disertai jaringan mati dan terlihat adanya periosteal stripping. Garis fraktur simple transverse atau short
oblique fractures atau sedikit komunitif.
c. FRAKTUR
TERBUKA DERAJAT III yang dibagi menjadi tiga:
§ FRAKTUR
TERBUKA DERAJAT III A: Luka > 10 cm
akibat high energy trauma, out-in, terjadi kerusakkan lunak, otot
dengan periosteal stripping, tapi
luka masih bisa ditutup dengan jaringan lunak. Fraktur segmental termasuk luka
tembak. Kontaminasi berat.
§ FRAKTUR
TERBUKA DERAJAT III B: sama seperti IIIA tapi dapat ditutup dengan menggunakanflap. Kontaminasi massive atau sangat kotor
§ FRAKTUR
TERBUKA DERAJAT III C: sama derajat III B tapi membutuhkan repair arteri vital demi kehidupan bagian distal fraktur.
Klasifikasi ini dapat lebih akurat
bila dilakukan sesudah operasi bukan di emergensi atau UGD.Oleh karena itu,
perhitungan skoring di RS Sardjito (Armis) guna meningkatkan angka kesepakatan
(kappa) yang tadinya 0.6 berdasarkan
Gustilo dan Anderson menjadi 0.7 bila dilakukan di ruang emergensi berdasarkan
perbandingan angka di kamar operasi.
Berdasarkan klasifikasi Gustilo dan Anderson di
atas dapat berhubungan dengan komplikasi infeksi, penyembuhan fraktur dan
amputasi pada fraktur terbuka seperti pada table 3
Tabel
3. Hubungan klasifikasi Gustilo dan Anderson dengan infeksi, penyembuhan dan
amputasi
Grade
|
I
|
II
|
III A
|
III B
|
III C
|
Infection rates
|
0-2%
|
2-7%
|
5-10%
|
10-50%
|
25-50%
|
Fracture healing (minggu)
|
21-28
|
28-28
|
30-35
|
30-35
|
|
amputation
|
0%
|
0%
|
2.5%
|
5.6%
|
25%
|
Kemudian dibagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan prognosis infeksi hubungan dengan faktor risiko seperti immunocompromising factors seperti: umur > 80 penggunaan obat DM, malignancy, pulmonary insufficiency,
systemic immunodeficiency pada tabel 4 di bawah ini
Tabel
4. Hubungan Gustilo dan Anderson classification dengan jumlah immunocompromising factors
Class
|
Compromise factors
|
Infection rates
|
A
|
0
|
4%
|
B
|
1-2
|
15%
|
C
|
3 or more
|
31%
|
Kesimpulan bahwa pasien dengan
beberapa faktor risiko dapat meningkatkan risiko infeksi sehingga membutuhkan
terapi tambahan guna menurunkan risiko tersebut.
4. MIKROBIOLOGI
Bakteri
yang terbanyak pada fraktur terbuka lihat pada table 5
Table 5. Bakteri pada fraktur terbuka
Blunt
trauma. Low energy
|
Staph,
Strept
|
Farm wound
|
Clostridia
|
Fresh water
|
Pseudomas,
Aeromonas
|
War wound.
High energy trauma
|
Gram
negative
|
Bila
luka dibiarkan terbuka > 2 minggu maka kuman pseudomonas dan bakteri lain
akan berkembang oleh karena itu harus segera ditutup.
5.
POLITRAUMA ATAU MULTIPLE INJURIES
Fraktur
terbuka umumnya akibat high energy trauma
terutama derajat III. Maka dari itu, pelayanan kesehatan otomatis memfokuskan
adanya politrauma yaitu trauma regio lainnya: trauma kepala, torak, abdomen,
traktus urinarius, pelvis dan anggota gerak lainnya (multiple fractures).
6.
SOK (SHOCK):
Perdarahan atau haemorrhage dapat menyebabkan sok (shock) pada pasien politrauma. Politrauma
dapat menyebabkan organ perfusion dan oksigenasi jaringan lunak tidak memadai
dengan manifestasi klinis seperti takhikardi dan pembuluh darah mengecil karena
vasokontriksi pulsus pada bayi > 160 kali/menit; anak-anak preschooler> 140/permenit; pelajar
> 120 permenit; dan dewasa .100 kali permenit.
Haemorrhage
tersebut dapat menyebabkan hypoperfusion
dan mengurangi pengangkuatan oksigen (oxygen
delivery) yang mengakibatkan pengurangan produksi panas (heat generation) yang dapat menimbulkan hypothermia dengan temperatur < 360
selama lebih 4 jam. Hal ini disebut lethal
triad dan dapat diterangkan sebagai berikut:
a.
Hypothermia
dapat menimbulkan cardiac arrhythmia,
cardiac output menurun, peningkatan systemic
vascular resistence, dan kurve oxygen-hemoglobin
dissociation bergeser kekiri. Hypothermia
juga menimbulkan coagulopathy oleh
penghambatan kaskade coagulopathy.
Temperatur yang rendah dapat merusak fungsi immunologic
pasien. Hypothermia dapat
menambah pelepasan panas karena faktor eksternal dan tindakan pembedahan.
Multidisiplin pada penatalaksanaan pasien dapat mencegah kehilangan panas tubuh
dan membantu mengkoreksi hypothermia.
b.
Koagulopati (Coagulopathy) terjadi karena hypothermia,
platelet dan faktor disfungsi koagulasi
pada temperatur rendah, aktivasi system
fibrinolitic dan hemodilusi sewaktu resusitasi massive. Dysfunction platelet
akibat imbalans antara thromboxane
dan prostacyclin yang terjadi sewaktu
hypothermia. Hypothermia dan hemodilusi menghasilkan efek addiktif coagulopathy. Setelah penggantian darah
5.000 mL atau 5 unit PRC hanya 30-40% platelet
yang ada di sirkulasi. Prothrombin time
(PT), partial prothrombin time (PTT),
fibrinogen level, dan lactate level tidak dapat memprediksi severe coagulopathy.
c.
Acidosis
terjadi
akibat adanya anaerobic metabolism
dimulai ketika shock state hypoperfusion
yang terlalu lama sehingga menghasilkan produksi laktat. Acidosis menurunkan kontraklitas miokardial dan cardiac output. Acidosis juga dapat memburuk akibat multiple transfusion, penggunaan vasopressor, aortic
cross-clamping dan memburuk kerja myocardial.
Ini dapat lebih jelas yaitu hubungan yang komplek antara acidosis, hypothermia, dan coagulopathy
dan setiap faktor satu dengan lainnya yang dapat menimbulkan ARDS (adult respiration distress syndrome) dan
MODS (multiple organ dysfunction syndrome)
karena adanya second hit kemudian
berakhir dengan kematian pasien.
7.
DAMAGE
CONTROL ORTHOPAEDIC (DCO)
Damage
control orthopaedic (DCO) telah terjadi evolusi terapi
pasien trauma dalam rangka mengurangi angka kematian pasien
Batasan:
Damage
control orthopaedic (DCO) adalah suatu pendekatan yang
menstabilkan dan memperbaiki fungsi fisiologi pasien trauma sistem lokomotor
sehingga tidak memburuk pada stadium “second
hit” dengan cara menunda terapi definitif (delay definitive
fracture repair) seperti ilustrasi 2 di bawah ini
8.
FISIOLOGI DAMAGE CONTROL ORTHOPAEDIC (DCO)
Setiap trauma pada sistem lokomotor
terjadi reaksi sistemik inflamasi (systemic
inflammation respose syndrome atau SIRS) yang diikuti oleh counter regulatory antiinflammatory response
(CARS). Inflamasi berat (Severe
inflammation) dapat menyebabkan acute
organ failure dan kematian awal setelah trauma. Respons inflamasi ringan (a lesser inflammatory response) yang
diikuti oleh excessive compensatory anti-inflammation
response syndrome dapat memperlama penekanan immune tubuh (immunosuppressed state) sehingga dapat
merusak kondisi pasien. Konsep kerja inilah yang dapat menerangkan kenapa multiple organ dysfunction syndrome
berkembang awal setelah trauma pada pasien.
Respons inflammasi berat dapat
mengaktifkan sistem immune pasien
seperti sel makrofag, leukosit dan natural
killer dan migrasi sel-sel inflammasi dipercepat oleh produksi IL-8 dengan complement components (C5a dan C3a).Bila
stimulus tidak kuat maka konsekuensinya kembali normal dan pasien dengan mudah
diserang inflamasi sekunder yang dapat mengaktifasi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan menimbulkan late multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).
Masalah serangan kedua terdapat banyak
bentuk seperti prosedur pembedahan sepsis sebagai dasar untuk proses penentuan
(decision making) kapan dan bagaimana
penentuan “borderline” pada pasien
trauma multipel. Hyperstimulation system
inflammatory baik single atau multiple hits ditentukan oleh banyak
elemen pada patogenesis adult respiratory
distress syndrome dan multiple organ
dysfunction syndrome.
Fenomena pada serangan pertama
dipengaruhi oleh beberapa mediator seperti peningkatan IL-6 dan IL-8 dengan injury severity score (ISS) ≥ 25 point. Peningkatan neutrophil L-selection didapat pasien ISS ≥ 16 point.Peningkatan
integrin CD11b pada pasien trauma berat. MODS berkembang berhubungan dengan
CD11b pada neutrophil dan limfosit
selama 120 jam
Pada prosedur secondary surgical terjadi peningkatan inflammatory sehingga first
dan second hitphenomenon pasien
trauma memperlihatkan peningkatan serangan.Banyak variabel yang mempengaruhi
kondisi ini seperti faktor genetika, interferon-gamma,
TNF-α,
IL-6, IL-10 dan seterusnya.
Permasalahannya adalah seleksi atau
penentuan pasien untuk DCO.Pasien yang yang memerlukan total care DCO sesudah trauma. Banyak trauma scoring system seperti abbreviated
injury scale, injury severity score, revised trauma score (lihat pada
lampiran 1), anatomic profile dan Glasgow coma scale (lihat pada lampiran
1) berkembang dengan pesat tapi tidak ada yang dapat membantu pada decision making.
Terminologi “borderline patient” menggambarkan sebagai predisposisi untuk
keburukan. Diantara faktor lain, trauma torak kelihatan memegang peranan dan
penting sekali, dimana fraktur femur dengan trauma torak harus diterapi
definitif stabilisasi atau harus distabilisasi dengan fiksator eksternal masih
dalam perdebatan. Situasi klinis, “borderline”
meliputi ada atau tidak ada kriteria seperti bawah ini:
a.
Politrauma + injury severity score of> 20 points
dan penambahan trauma torak (abbreviated
injury score> 2 points).
b.
Politrauma dengan abdominal/pelvic trauma (Moore score> 3 points) dan haemorhagic shock (initial blood pressure< 90 mm Hg)
c.
Injury
severity score of ≥ 40 points tanpa trauma torak
d. Radiographic findings of
bilateral lung contusion
e.
Initial
mean pulmonary arterial pressure of> 24 mm Hg
f.
Increase
of>
6 mm Hg pada arteri pulmonary selama intramedullary nailing.
RINGKASAN
DCO adalah menunda terapi definitif pasien
politrauma dalam rangka meniadakan “second
hit” dan secepatnya mengontrol perdarahan (haemorrhage), managemen luka jaringan lunak dan memberikan
stabilitas fraktur secara sederhana kemudian membebaskan dari penderitaan pasien yang lebih
berat. Multiple trauma adalah trauma sistem lokomotor disertai trauma kepala
atau torak, atau abdomen, atau traktus urinarius (pelvic).Oleh karena itu pemberi pelayanan fraktur femur, trauma pelvic, trauma pada pasien lansia dengan
trauma multipel harus menunda terapi definitifnya.
A.
DIAGNOSIS
1.
RIWAYAT PENYAKIT (HISTORY TAKING)
Pasien perlu dinilai kesadaran
sebagai penilaian awal. Pasien datang dengan keluhan luka, bengkak, nyeri bila
digerakkan deformitas dan gangguan fungsi (sama seperti keluhan fraktur pada
umumnya ditambah ada luka).
2.
PEMERIKSAAN FISIK (PHYSICAL EXAMINATION)
Kesadaran pasien perlu diperiksa
dengan cara menilai GCS dan revised
trauma score.
a. LOOK:
Terlihat luka yang harus dideskripkan tepi, ukuran luka, jaringan di bawah
kulit dan kontaminasi. Fraktur komplit perlu dijelaskan deformitas yang
terlihat seperti pemendekan, angluasi atau rotasi
b. FEEL: Tenderness (nyeri tekan), krepitasi,
temperatur dan sensibelitas bagian distal lesi dan palpasi di sendi dekat
dengan lesi. Gerakan abnormal pada lesi yang dicurigai
c. MOVE (GERAKAN):
Gerakan abnormal di lesi tersebut dan juga diperiksa gerakan sendi di proksimal
dan di distal lesi.
d. SPECIAL CLINICAL TEST:
Pemeriksaan kekuatan otot (muscle power),
capillary refill test untuk
pemeriksaan viabilitas distal lesi dengan menggunakan alat oxynometer.
3.
PEMERIKSAAN PENUNJANG (INVESTIGATION)
Pemeriksaan laboratorium darah
rutin dan pemeriksaan x-rays proyeksi
AP dan lateral guna melihat lokasi, garis fraktur, pergeseran fragmen fraktur,
tertutup (kulit di atas fraktur utuh) atau terbuka (kulit di atas lesi
terputus).
RINGKASAN:
Diagnosis mudah ditentukan dan
perlu pasien dipisahkan trauma beberapa regio tubuh pasien (politrauma) atau
hanya pada salah satu anggota gerak pasien (trauma tunggal atau single/non-polytrauma).
B. PROBLEM
PASIEN (AKUT DAN KRONIS)
a.
Tingginya angka insidensi fraktur
terbuka dan kematian pasien
b.
Kurang disiplin masyarakat mematuhi
tertib lalu lintas
c.
Infrastruktur dan safety yang belum memadai
d.
Fraktur terbuka perlu menjadi
perhatian adalah penyebab fraktur itu sendiri seperti trauma enegi besar (high energy). Oleh karena itu pada pelayanan
primer (primary care) adalah survei
primer (primary survey)yang melakukan
tindakanlifesaving dan limb threateningyang dilanjutkan
transportasi pasien ke fasilitas yang memadai serta survei sekonder (secondary survey) dengan memeriksa
trauma pada tubuh daerah lain (kepala, torak, abdomen, traktur urinarius dan
tulang belakang) guna memisahkan pasien dengan politrauma.
e.
Morbiditas infeksi fraktur terbuka
masih tinggi karena angka kejadian amputasi yang diperkirakan 50% pada fraktur
terbuka derajat III C. Adapun mortality
rate sewaktu perang Dunia pertama pada fraktur terbuka femur sebesar 70%
f.
Promosi dan pencegahan serta safety kurang menjadi perhatian utama
pemberi pelayanan kesehatan di masyarakat
C.
PENATALAKSANAAN
atau TERAPI/TINDAKAN (lihat lampiran 2 alur pasien):
Ada
empat aspek yang menjadi perhatian pemberi pelayanan kesehatan primer fraktur
terbuka yaitu:
1.
Tatalaksana lifesaving dan limb
threatening karena akibat high energy
trauma
2.
Tatalaksana luka yang rentan
infeksi
3.
Tatalaksana fraktur
4.
Tatalaksana pasien polytrauma
TUJUAN
UMUM
Mencegah kematian
dan mengembalikan fungsi pasien kesemula atau sebelum terjadi fraktur terbuka
dan mencegah terjadi komplikasi.
TUJUAN
KHUSUS
a)
Melindungi atau mempertahankan
kehidupan pasien (preserve life)
b)
Melindungi kehidupan bagian distal
fraktur (preserve limb)
c)
Mencegah atau menurunkan komplikasi
infeksi (infection prevention) dan
kematian (mortality)
d)
Melindungi atau mempertahankan
fungsi (preserve function)
I. PUSKESMAS (level I)
ALUR PASIEN
a.
Pasien fraktur terbuka dari area
kecelakaan dibawa oleh keluarga atau masyarakat, atau tim P3K
b.
Pasien dari pelayanan swasta karena
alasan tertentu
TATALAKSANA PASIEN TUNGGAL/SINGLE TRAUMA (sadar atau tidak sadar)
1.
Terapi Emergensi:
a.
Initial Assessment and
Management.
Penilaian dan Tindakan Awal (initial assessment and management)yaitu
memfokuskan penilaian ABC (jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi), bila
ditemukan kegawatan maka adalah urgen atau emergensimelakukan lifesaving(cardiopulmoner and electrolyte resuscitation lihat tabel 6) dan limb threatening dengan fasilitas yang
ada.
Tabel 6. Klasifikasi sok
Class
|
Vol. darah yang hilang (%)
|
Terapi
|
I
|
Sampai 15
|
Fluid
replacement
|
II
|
15-30
|
Fluid
replacement
|
III
|
30-40
|
Fluid
replacement
dan blood repalcement
|
IV
|
Lebih 40
|
Fluid
replacement
dan blood replacement
|
Resusitasi Cairan (electrolyte resuscitation)dapat dengan
penggantian cairan (fluid) seperti Lactated Ringer yang dimulai 1-2 L untuk
dewasa dan 20 ml/kg untuk anak-anak dengan total penggantian sebanyak tiga kali
jumlah darah yang hilang dengan cairanCristaloidjuga
harus digunakan. Respons resusitasi cairan dapat dilihat urine output menjadi 0.5 ml/kg/jam untuk dewasa seperti pada tabel
7
Tabel 7. Respons resusitasi
Response
|
Vital
sign
|
Blood
loss
|
Crystalloid need
|
Blood need
|
Rapid
|
Return to normal
|
Min. 10-20%
|
Low
|
Low
|
Transient
|
Improve
transiently, recurrent of decreased blood pressure and increase heart rate
|
Moderate and ongoing
|
High
|
Moderate to high
|
None
|
Remain
abnormal
|
Severe
(> 40%)
|
High
|
Immediate
|
Sok juga dapat akibat nonhemorrhagic shock seperti cardiogenic shock (myocardial dysfunction), tension
pneumothorax,neurogenic shock (hypotension
tanpa tachycardia dan vasoconstriction), danseptic shock.
b. Antibiotik.Berikan Broad Spectrum Antibiotic 2 gr IV. Bila perlu diberikan antitetanus
Pemberian antibiotik menurut
Patzakis et al:
o
Derajat I dan II cefamandole +
gentamycin
o
Derajat III: cipro
Catatan: Pemberian cipro dan
fluoroquinolones dapat menghambat aktifitas osteoblast dan penyembuhan fraktur
c.
Penilaian
Neurovaskuler. Penilaian Neurovaskuler bagian
distal fraktur (pulsus dan sensibilitas)
d.
Realign. Kelurusan
(realign) fragmen fraktur, bila ada
gangguan vaskuler di distal fraktur dan pasangkan splint
e.
Recheck.
Melakukan cek kembali pulsus arteri, sensibilitas dan otot dibagian distal lesi
f.
Irigasi.
Terapi Irigasi (pencucian luka): Luka dicuci dengan cairan salin sebanyak 1-2
liter (solution to pollution is dilution/Hipocrates)
g.
Penutupan
Luka.
Luka ditutup dengan kasa steril dengan dibalut sedikit menekan
h.
Stabilisasi.
memasang splint untuk immobilisasi
fraktur
i. Symptomatic
/ Palliative
j.
Rujuk
segera ke RSUD atau RSUP/RSN yang terdekat dengan menyertakan keterangan
tentang tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan/diberikan.
2.
Promosi dan Pencegahan Kecelakaan (promotion and prevention)
§ Dokter
umum dan dokter keluarga yang bertugas di PUSKESMAS sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan memegang peranan pada pencegahan dan promosi fraktur
terbuka pada pasien dan masyarakat di tempat dia bertugas.
§ Tujuan
promosi dan pencegahan fraktur terbuka adalah menurunkan angka insidensi
fraktur terbuka dan angka infeksi. Pada pasien, keluarganya, dan masyarakat
diberikan penyluhan disiplin aturan lalu-lintas dan merencanakan program
menghilangkan penyebab kecelakaan (safety).
§ Mengadakan
bimbingan pertolongan pertama bila mendapatkan atau menemukan fraktur terbuka
yaitu lifesaving/limb threatening
(resusitasi kardiopulmoner sederhana) menutup luka dengan kasa/kain steril
dengan memasang pembidaian fraktur dan segera di bawa ke PUSKESMAS
terdekat.
§ Memberikan
penyuluhan kepada masyarakat atau ke sekolah tentang home safety atau kenyamanan tempat bermain, sport safety dan lain sebagainya.
3.
Home
Care atau Follow up dan rehabilitasi pasien pasca
manajemen fraktur terbuka atau rujukan dari RSUD atau RSUP/RSN berdasarkan
rekomendasi dari dokter ahli dan kemudian merujuk kembali guna adanya perubahan
instrukti pada follow up berikutnya.
4. End of Life Care. Pasien
fraktur terbuka datang ke PUSKESMAS dengan kondisi sangat kritis
KEPUSTAKAAN
1.
Brinker
MR (2001). Review of Orhopaedic Trauma.
WB. Saunders Comp. Philadelphia
2.
Roberts
CS, Pape HC, Jones AL, et al (2005). Damage control orthopaedics. Evolving concepts
in the treatment of patients who have sustained orthopaedic trauma. JBJS 87A: 434-449
3.
Wiabel
BH and Rotondo MMF (2012). Damage control surgery: It’s evolution over the last
20 years. Rev. Col. Bras. Cir. 39:
314-321
4.
Dadhwal
US and Pathak N (2010) Damage control philosophy in polytrauma. MJAFI 66: 347-349.
5.
Magoumou
A, Andaloussi YEl, Fahsi S, et al (2014). Time Management of Open Lower-Leg
Fractures in Morocco. Open Journal of
Emergency Medicine 2: 53-61
6.
Court-Brown
CM, Allan M, Davidson E et al (2013). Epidemiology of Cycling Fractures in
Adults. Emergency Medicine. Vol 3 Issue 2:
http//dx.doi.org/10.4172/2165-7548.1000139 diakses September 2015
LAMPIRAN 1
Table 11.Revised Traum Score
Parameter
|
Measurement
|
Score
|
Respiratory rate
|
10 – 29
≥ 30
6 – 9
1 – 5
0
|
4
3
2
1
0
|
Systolic blood pressure
|
≥ 90
76 – 89
50 – 75
1 – 49
No pulse
|
4
3
2
1
0
|
Glasgow coma scale
|
13 – 15
9 – 12
6 – 8
4 – 5
1
|
4
3
2
1
0
|
Table 12. Mangle Extrimity Severity Score
Parameter evaluation
|
Point
|
Skeletal/soft tissue injury
·
Low energy (stab, simple
fracture, civilian” gunshot wound)
·
Medium energy (open or
multiple fractures, dislocation)
·
High energy
(close-range shotgun or military
gunshot wound, crush injury)
·
Very high energy (same as
above but with gross contamination, soft tissue avulsion
|
1
2
3
4
|
Limb ischemia
·
Pulse reduced or abcent
but normal perfusionapillary ref
·
Pulseness, paresthesias,
diminished cill test
·
Cool, paralyzed,
insensate, numb
|
1
2
3
|
Shock
·
Systolic blood pressure
always > 90 mm Hg
·
Hypotension transiently
·
Persistent hypotension
|
0
1
2
|
Year
·
< 30
·
30-50
·
> 50
|
0
1
2
|
Table 13. Glasgow Coma Scale
Response to assessment
|
Scale
|
Eye opening
·
Spontaneous
·
To speech
·
To pain
·
None
|
4
3
2
1
|
Best motor
response
·
Obeys commands
·
Localizes
·
Normal withdrawel
(flexion)
·
Abnormal withdrawel
(flexion)-decorticate
·
Extension – decebrate
·
None (flaccid)
|
6
5
4
3
2
1
|
Verbal
response
·
Oriented
·
Confused conversation
·
Inappropriate words
·
Incomprehensible sounds
·
None
|
5
4
3
2
1
|
Pasien Fraktur Terbuka
|
No comments:
Post a Comment