Monday, December 14, 2015

PELAYANAN PRIMER FRAKTUR TERBUKA


A.     PENDAHULUAN

1.      Batasan (definisi)

Fraktur terbuka (open fractures) adalah diskontinuitas struktur tulang yang berhubungan dengan dunia luar (external environment) akibat kerusakkan jaringan lunak dan kulit penutup tulang yang mengalami lesi tersebut.Oleh karena itu, fraktur terbuka rentan infeksi.

2.      EPIDEMIOLOGI

Insidensi fraktur terbuka di UK 36.0 per 100.000 populasi (2002 – 2004) dengan didominasi oleh pria, tapi diatas umur 55 tahun didominasi oleh wanita.Berdasarkan RISKESDAS (riset kesehatan dasar) di Indonesia 2013 dengan hasil fraktur terbuka 5.8% dari seluruh kasus di Rumah Sakit. Penyebab kecelakaan lalu lintas adalah terbanyak (42.8%) dari seluruh fraktur terbuka yang didominasi oleh  akibat kecelakaan sepeda motor (40.6%) dan kemudian diikuti jatuh (40.9%).


Tabel 1.The Epidemiology of Open Fractures in Edinburgh in 2007 to 2008
Lokasi fraktur
jumlah
Open (%)
Gustilo III (%)
Diafisis femur
91
5.5
60
Femur distal
39
7.7
66.9
Tibia proksimal
80
2.5
0
Diafisis tibia
73
21.9
56.2
Tibia distal
52
3.8
50
Pergelangan kaki
633
0.8
20
Humerus diafisis
68
1.5
0
Forearm proksimal
354
2.3
12.5
Forearm
60
11.7
0
Radius distal
1147
06
0
Falang jari
679
13.7
9.7



Pada publikasi lain menulis fraktur terbuka sebanyak 3% dari semua fraktur seluruh anggota bawah dan 21.3% per 100.000 populasi setiap tahun (tabel 2).



Tabel 2. Lokasi fraktur terbuka
Location
Total fractures
Open fractures
%
Upper limb
15.406
503
3.3
Lower limb
13.096
488
3.7
Shoulder girdle
1.448
3
0.2
pelvis
942
6
0.6
spine
683
0
0.0
total
31.575
1.000
3.17

3.      PATOLOGI

Klasifikasi Fraktur Terbuka

Klasifikasi fraktur terbuka sangat penting karena dapat menentukan perencanaan tindakan dan prognosis pasien. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok (classification of open fractures) berdasarkan Gustilo dan Anderson dengan perhitungan dan analisis fraktur terbuka tibia yang memperhatikan penilaian derajat kerusakan jaringan lunak dan kontaminasi seperti:

a.      FRAKTUR TERBUKA DERAJAT I: Luka berukuran < 1 cm, umumnya akibat protrusi fragmen dari dalam ke luar (in-out). Luka bersih dan kerusakkan jaringan lunak hanya sedikit serta tidak ada periosteal stripping. Garis fraktur simple transverse atau short oblique fractures.

b.      FRAKTUR TERBUKA DERAJAT II: Luka berukuran > 1 cm, terjadi kerusakkan jaringan sedang (moderate). Luka biasanya akibat trauma dari luar ke dalam(out-in) dan energi trauma cukup/sedang (moderate) dengan disertai jaringan mati dan terlihat adanya periosteal stripping. Garis fraktur simple transverse atau short oblique fractures atau sedikit komunitif.

c.       FRAKTUR TERBUKA DERAJAT III yang dibagi menjadi tiga:
§  FRAKTUR TERBUKA DERAJAT III A:  Luka > 10 cm akibat high energy trauma, out-in, terjadi kerusakkan lunak, otot dengan periosteal stripping, tapi luka masih bisa ditutup dengan jaringan lunak. Fraktur segmental termasuk luka tembak. Kontaminasi berat.

§  FRAKTUR TERBUKA DERAJAT III B: sama seperti IIIA tapi dapat ditutup dengan menggunakanflap. Kontaminasi massive atau sangat kotor
§  FRAKTUR TERBUKA DERAJAT III C: sama derajat III B tapi membutuhkan repair arteri vital demi kehidupan bagian distal fraktur.

Klasifikasi ini dapat lebih akurat bila dilakukan sesudah operasi bukan di emergensi atau UGD.Oleh karena itu, perhitungan skoring di RS Sardjito (Armis) guna meningkatkan angka kesepakatan (kappa) yang tadinya 0.6 berdasarkan Gustilo dan Anderson menjadi 0.7 bila dilakukan di ruang emergensi berdasarkan perbandingan angka di kamar operasi.

Berdasarkan klasifikasi Gustilo dan Anderson di atas dapat berhubungan dengan komplikasi infeksi, penyembuhan fraktur dan amputasi pada fraktur terbuka seperti pada table 3
Tabel 3. Hubungan klasifikasi Gustilo dan Anderson dengan infeksi, penyembuhan dan amputasi
Grade
I
II
III A
III B
III C
Infection rates
0-2%
2-7%
5-10%
10-50%
25-50%
Fracture healing (minggu)
21-28
28-28
30-35
30-35

amputation
0%
0%
2.5%
5.6%
25%

Kemudian dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan prognosis infeksi hubungan dengan faktor risiko seperti immunocompromising factors seperti:  umur > 80 penggunaan obat DM, malignancy, pulmonary insufficiency, systemic immunodeficiency pada tabel 4 di bawah ini
Tabel 4. Hubungan Gustilo dan Anderson classification dengan jumlah immunocompromising factors
Class
Compromise factors
Infection rates
A
0
4%
B
1-2
15%
C
3 or more
31%

Kesimpulan bahwa pasien dengan beberapa faktor risiko dapat meningkatkan risiko infeksi sehingga membutuhkan terapi tambahan guna menurunkan risiko tersebut.




4.      MIKROBIOLOGI

Bakteri yang terbanyak pada fraktur terbuka lihat pada table 5
Table 5. Bakteri pada fraktur terbuka
Blunt trauma. Low energy
Staph, Strept
Farm wound
Clostridia
Fresh water
Pseudomas, Aeromonas
War wound. High energy trauma
Gram negative

Bila luka dibiarkan terbuka > 2 minggu maka kuman pseudomonas dan bakteri lain akan berkembang oleh karena itu harus segera ditutup.

5.      POLITRAUMA ATAU MULTIPLE INJURIES

Fraktur terbuka umumnya akibat high energy trauma terutama derajat III. Maka dari itu, pelayanan kesehatan otomatis memfokuskan adanya politrauma yaitu trauma regio lainnya: trauma kepala, torak, abdomen, traktus urinarius, pelvis dan anggota gerak lainnya (multiple fractures).

Politrauma perlu diperhatikan adanya perdarahan sebagai penyebab utama kematian pasien yang disebut lethal triad yaitu adanya coagulopathy, hypothermia, dan acidosis seperti pada ilustrasi1.






6.      SOK (SHOCK):
Perdarahan atau haemorrhage dapat menyebabkan sok (shock) pada pasien politrauma. Politrauma dapat menyebabkan organ perfusion dan oksigenasi jaringan lunak tidak memadai dengan manifestasi klinis seperti takhikardi dan pembuluh darah mengecil karena vasokontriksi pulsus pada bayi > 160 kali/menit; anak-anak preschooler> 140/permenit; pelajar > 120 permenit; dan dewasa .100 kali permenit.

Haemorrhage tersebut dapat menyebabkan hypoperfusion dan mengurangi pengangkuatan oksigen (oxygen delivery) yang mengakibatkan pengurangan produksi panas (heat generation) yang dapat menimbulkan hypothermia dengan temperatur < 360 selama lebih 4 jam. Hal ini disebut lethal triad dan dapat diterangkan sebagai berikut:

a.       Hypothermia dapat menimbulkan cardiac arrhythmia, cardiac output menurun, peningkatan systemic vascular resistence, dan kurve oxygen-hemoglobin dissociation bergeser kekiri. Hypothermia juga menimbulkan coagulopathy oleh penghambatan kaskade coagulopathy. Temperatur yang rendah dapat merusak fungsi immunologic pasien. Hypothermia dapat menambah pelepasan panas karena faktor eksternal dan tindakan pembedahan. Multidisiplin pada penatalaksanaan pasien dapat mencegah kehilangan panas tubuh dan membantu mengkoreksi hypothermia.
b.      Koagulopati (Coagulopathy) terjadi karena hypothermia, platelet dan faktor disfungsi koagulasi pada temperatur rendah, aktivasi system fibrinolitic dan hemodilusi sewaktu resusitasi massive. Dysfunction platelet akibat imbalans antara thromboxane dan prostacyclin yang terjadi sewaktu hypothermia. Hypothermia dan hemodilusi menghasilkan efek addiktif coagulopathy. Setelah penggantian darah 5.000 mL atau 5 unit PRC hanya 30-40% platelet yang ada di sirkulasi. Prothrombin time (PT), partial prothrombin time (PTT), fibrinogen level, dan lactate level tidak dapat memprediksi severe coagulopathy.
c.       Acidosis terjadi akibat adanya anaerobic metabolism dimulai ketika shock state hypoperfusion yang terlalu lama sehingga menghasilkan produksi laktat. Acidosis menurunkan kontraklitas miokardial dan cardiac output. Acidosis juga dapat memburuk akibat multiple transfusion, penggunaan vasopressor, aortic cross-clamping dan memburuk kerja myocardial. Ini dapat lebih jelas yaitu hubungan yang komplek antara acidosis, hypothermia, dan coagulopathy dan setiap faktor satu dengan lainnya yang dapat menimbulkan ARDS (adult respiration distress syndrome) dan MODS (multiple organ dysfunction syndrome) karena adanya second hit kemudian berakhir dengan kematian pasien.

7.      DAMAGE CONTROL ORTHOPAEDIC (DCO)
Damage control orthopaedic (DCO) telah terjadi evolusi terapi pasien trauma dalam rangka mengurangi angka kematian pasien
Batasan:

Damage control orthopaedic (DCO) adalah suatu pendekatan yang menstabilkan dan memperbaiki fungsi fisiologi pasien trauma sistem lokomotor sehingga tidak memburuk pada stadium “second hit” dengan cara menunda terapi definitif (delay definitive fracture repair) seperti ilustrasi 2 di bawah ini



8.      FISIOLOGI DAMAGE CONTROL ORTHOPAEDIC (DCO)

Setiap trauma pada sistem lokomotor terjadi reaksi sistemik inflamasi (systemic inflammation respose syndrome atau SIRS) yang diikuti oleh counter regulatory antiinflammatory response (CARS). Inflamasi berat (Severe inflammation) dapat menyebabkan acute organ failure dan kematian awal setelah trauma. Respons inflamasi ringan (a lesser inflammatory response) yang diikuti oleh excessive compensatory anti-inflammation response syndrome dapat memperlama penekanan immune tubuh (immunosuppressed state) sehingga dapat merusak kondisi pasien. Konsep kerja inilah yang dapat menerangkan kenapa multiple organ dysfunction syndrome berkembang awal setelah trauma pada pasien.

Respons inflammasi berat dapat mengaktifkan sistem immune pasien seperti sel makrofag, leukosit dan natural killer dan migrasi sel-sel inflammasi dipercepat oleh produksi IL-8 dengan complement components (C5a dan C3a).Bila stimulus tidak kuat maka konsekuensinya kembali normal dan pasien dengan mudah diserang inflamasi sekunder yang dapat mengaktifasi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan menimbulkan late multiple organ dysfunction syndrome (MODS).

Masalah serangan kedua terdapat banyak bentuk seperti prosedur pembedahan sepsis sebagai dasar untuk proses penentuan (decision making) kapan dan bagaimana penentuan “borderline” pada pasien trauma multipel. Hyperstimulation system inflammatory baik single atau multiple hits ditentukan oleh banyak elemen pada patogenesis adult respiratory distress syndrome dan multiple organ dysfunction syndrome.

Fenomena pada serangan pertama dipengaruhi oleh beberapa mediator seperti peningkatan IL-6 dan IL-8 dengan injury severity score (ISS) ≥ 25 point. Peningkatan neutrophil L-selection didapat pasien ISS ≥ 16 point.Peningkatan integrin CD11b pada pasien trauma berat. MODS berkembang berhubungan dengan CD11b  pada neutrophil dan limfosit selama 120 jam

Pada prosedur secondary surgical terjadi peningkatan inflammatory sehingga first dan second hitphenomenon pasien trauma memperlihatkan peningkatan serangan.Banyak variabel yang mempengaruhi kondisi ini seperti faktor genetika, interferon-gamma, TNF-α, IL-6, IL-10 dan seterusnya.

Permasalahannya adalah seleksi atau penentuan pasien untuk DCO.Pasien yang yang memerlukan total care DCO sesudah trauma. Banyak trauma scoring system seperti abbreviated injury scale, injury severity score, revised trauma score (lihat pada lampiran 1), anatomic profile dan Glasgow coma scale (lihat pada lampiran 1) berkembang dengan pesat tapi tidak ada yang dapat membantu pada decision making.

Terminologi “borderline patient” menggambarkan sebagai predisposisi untuk keburukan. Diantara faktor lain, trauma torak kelihatan memegang peranan dan penting sekali, dimana fraktur femur dengan trauma torak harus diterapi definitif stabilisasi atau harus distabilisasi dengan fiksator eksternal masih dalam perdebatan. Situasi klinis, “borderline” meliputi ada atau tidak ada kriteria seperti bawah ini:
a.       Politrauma + injury severity score of> 20 points dan penambahan trauma torak (abbreviated injury score> 2 points).
b.      Politrauma dengan abdominal/pelvic trauma (Moore score> 3 points) dan haemorhagic shock (initial blood pressure< 90 mm Hg)
c.       Injury severity score of ≥ 40 points tanpa trauma torak
d.      Radiographic findings of bilateral lung contusion
e.       Initial mean pulmonary arterial pressure of> 24 mm Hg
f.        Increase of> 6 mm Hg pada arteri pulmonary selama intramedullary nailing.

RINGKASAN
DCO adalah menunda terapi definitif pasien politrauma dalam rangka meniadakan “second hit” dan secepatnya mengontrol perdarahan (haemorrhage), managemen luka jaringan lunak dan memberikan stabilitas fraktur secara sederhana kemudian  membebaskan dari penderitaan pasien yang lebih berat. Multiple trauma adalah trauma sistem lokomotor disertai trauma kepala atau torak, atau abdomen, atau traktus urinarius (pelvic).Oleh karena itu pemberi pelayanan fraktur femur, trauma pelvic, trauma pada pasien lansia dengan trauma multipel harus menunda terapi definitifnya.

A.   DIAGNOSIS
1.      RIWAYAT PENYAKIT (HISTORY TAKING)
Pasien perlu dinilai kesadaran sebagai penilaian awal. Pasien datang dengan keluhan luka, bengkak, nyeri bila digerakkan deformitas dan gangguan fungsi (sama seperti keluhan fraktur pada umumnya ditambah ada luka).

2.      PEMERIKSAAN FISIK (PHYSICAL EXAMINATION)
Kesadaran pasien perlu diperiksa dengan cara menilai GCS dan revised trauma score.
a.      LOOK: Terlihat luka yang harus dideskripkan tepi, ukuran luka, jaringan di bawah kulit dan kontaminasi. Fraktur komplit perlu dijelaskan deformitas yang terlihat seperti pemendekan, angluasi atau rotasi
b.      FEEL: Tenderness (nyeri tekan), krepitasi, temperatur dan sensibelitas bagian distal lesi dan palpasi di sendi dekat dengan lesi. Gerakan abnormal pada lesi yang dicurigai
c.       MOVE (GERAKAN): Gerakan abnormal di lesi tersebut dan juga diperiksa gerakan sendi di proksimal dan di distal lesi.
d.      SPECIAL CLINICAL TEST: Pemeriksaan kekuatan otot (muscle power), capillary refill test untuk pemeriksaan viabilitas distal lesi dengan menggunakan alat oxynometer.
3.      PEMERIKSAAN PENUNJANG (INVESTIGATION)
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan pemeriksaan x-rays proyeksi AP dan lateral guna melihat lokasi, garis fraktur, pergeseran fragmen fraktur, tertutup (kulit di atas fraktur utuh) atau terbuka (kulit di atas lesi terputus).

RINGKASAN:
Diagnosis mudah ditentukan dan perlu pasien dipisahkan trauma beberapa regio tubuh pasien (politrauma) atau hanya pada salah satu anggota gerak pasien (trauma tunggal atau single/non-polytrauma).



B.  PROBLEM PASIEN (AKUT DAN KRONIS)
a.       Tingginya angka insidensi fraktur terbuka dan kematian pasien
b.      Kurang disiplin masyarakat mematuhi tertib lalu lintas
c.       Infrastruktur dan safety yang belum memadai
d.      Fraktur terbuka perlu menjadi perhatian adalah penyebab fraktur itu sendiri seperti trauma enegi besar (high energy). Oleh karena itu pada pelayanan primer (primary care) adalah survei primer (primary survey)yang melakukan tindakanlifesaving dan limb threateningyang dilanjutkan transportasi pasien ke fasilitas yang memadai serta survei sekonder (secondary survey) dengan memeriksa trauma pada tubuh daerah lain (kepala, torak, abdomen, traktur urinarius dan tulang belakang) guna memisahkan pasien dengan politrauma.
e.       Morbiditas infeksi fraktur terbuka masih tinggi karena angka kejadian amputasi yang diperkirakan 50% pada fraktur terbuka derajat III C. Adapun mortality rate sewaktu perang Dunia pertama pada fraktur terbuka femur sebesar 70%
f.        Promosi dan pencegahan serta safety kurang menjadi perhatian utama pemberi pelayanan kesehatan di masyarakat

C.   PENATALAKSANAAN atau TERAPI/TINDAKAN (lihat lampiran 2 alur pasien):
Ada empat aspek yang menjadi perhatian pemberi pelayanan kesehatan primer fraktur terbuka yaitu:
1.      Tatalaksana lifesaving dan limb threatening karena akibat high energy trauma
2.      Tatalaksana luka yang rentan infeksi
3.      Tatalaksana fraktur
4.      Tatalaksana pasien polytrauma

TUJUAN UMUM
Mencegah kematian dan mengembalikan fungsi pasien kesemula atau sebelum terjadi fraktur terbuka dan mencegah terjadi komplikasi.

TUJUAN KHUSUS
a)      Melindungi atau mempertahankan kehidupan pasien (preserve life)
b)      Melindungi kehidupan bagian distal fraktur (preserve limb)
c)      Mencegah atau menurunkan komplikasi infeksi (infection prevention) dan kematian (mortality)
d)      Melindungi atau mempertahankan fungsi (preserve function)




I.      PUSKESMAS (level I)

ALUR PASIEN
a.       Pasien fraktur terbuka dari area kecelakaan dibawa oleh keluarga atau masyarakat, atau tim P3K
b.      Pasien dari pelayanan swasta karena alasan tertentu

TATALAKSANA PASIEN TUNGGAL/SINGLE TRAUMA (sadar atau tidak sadar)
1.      Terapi Emergensi:
a.    Initial Assessment and Management.
Penilaian dan Tindakan Awal (initial assessment and management)yaitu memfokuskan penilaian ABC (jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi), bila ditemukan kegawatan maka adalah urgen atau emergensimelakukan lifesaving(cardiopulmoner and electrolyte resuscitation lihat tabel 6) dan limb threatening dengan fasilitas yang ada.
Tabel 6. Klasifikasi sok
Class
Vol. darah yang hilang (%)
Terapi
I
Sampai 15
Fluid replacement
II
15-30
Fluid replacement
III
30-40
Fluid replacement dan blood repalcement
IV
Lebih 40
Fluid replacement dan blood replacement

Resusitasi Cairan (electrolyte resuscitation)dapat dengan penggantian cairan (fluid) seperti Lactated Ringer yang dimulai 1-2 L untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak-anak dengan total penggantian sebanyak tiga kali jumlah darah yang hilang dengan cairanCristaloidjuga harus digunakan. Respons resusitasi cairan dapat dilihat urine output menjadi 0.5 ml/kg/jam untuk dewasa seperti pada tabel 7

Tabel 7. Respons resusitasi
Response
Vital sign
Blood loss
Crystalloid need
Blood need
Rapid
Return to normal
Min. 10-20%
Low
Low
Transient
Improve transiently, recurrent of decreased blood pressure and increase heart rate
Moderate and ongoing
High
Moderate to high
None
Remain abnormal
Severe
(> 40%)
High
Immediate

Sok juga dapat akibat nonhemorrhagic shock seperti cardiogenic shock (myocardial dysfunction), tension pneumothorax,neurogenic shock (hypotension tanpa tachycardia dan vasoconstriction), danseptic shock.
b.      Antibiotik.Berikan Broad Spectrum Antibiotic 2 gr IV. Bila perlu diberikan antitetanus
Pemberian antibiotik menurut Patzakis et al:
o   Derajat I dan II cefamandole + gentamycin
o   Derajat III: cipro
Catatan: Pemberian cipro dan fluoroquinolones dapat menghambat aktifitas osteoblast dan penyembuhan fraktur
c.       Penilaian Neurovaskuler. Penilaian Neurovaskuler bagian distal fraktur (pulsus dan sensibilitas)
d.      Realign. Kelurusan (realign) fragmen fraktur, bila ada gangguan vaskuler di distal fraktur dan pasangkan splint
e.       Recheck. Melakukan cek kembali pulsus arteri, sensibilitas dan otot dibagian distal lesi
f.        Irigasi. Terapi Irigasi (pencucian luka): Luka dicuci dengan cairan salin sebanyak 1-2 liter  (solution to pollution is dilution/Hipocrates)
g.    Penutupan Luka. Luka ditutup dengan kasa steril dengan dibalut sedikit menekan
h.    Stabilisasi. memasang splint untuk immobilisasi fraktur
i.   Symptomatic / Palliative
j.      Rujuk segera ke RSUD atau RSUP/RSN yang terdekat dengan menyertakan keterangan tentang tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan/diberikan.

2.      Promosi dan Pencegahan Kecelakaan (promotion and prevention)
§  Dokter umum dan dokter keluarga yang bertugas di PUSKESMAS sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan memegang peranan pada pencegahan dan promosi fraktur terbuka pada pasien dan masyarakat di tempat dia bertugas.

§  Tujuan promosi dan pencegahan fraktur terbuka adalah menurunkan angka insidensi fraktur terbuka dan angka infeksi. Pada pasien, keluarganya, dan masyarakat diberikan penyluhan disiplin aturan lalu-lintas dan merencanakan program menghilangkan penyebab kecelakaan (safety).

§  Mengadakan bimbingan pertolongan pertama bila mendapatkan atau menemukan fraktur terbuka yaitu lifesaving/limb threatening (resusitasi kardiopulmoner sederhana) menutup luka dengan kasa/kain steril dengan memasang pembidaian fraktur dan segera di bawa ke PUSKESMAS terdekat. 

§  Memberikan penyuluhan kepada masyarakat atau ke sekolah tentang home safety atau kenyamanan tempat bermain, sport safety dan lain sebagainya.

3.      Home Care atau Follow up dan rehabilitasi pasien pasca manajemen fraktur terbuka atau rujukan dari RSUD atau RSUP/RSN berdasarkan rekomendasi dari dokter ahli dan kemudian merujuk kembali guna adanya perubahan instrukti pada follow up berikutnya.

4.      End of Life Care. Pasien fraktur terbuka datang ke PUSKESMAS dengan kondisi sangat kritis

KEPUSTAKAAN
1.      Brinker MR (2001). Review of Orhopaedic Trauma. WB. Saunders Comp. Philadelphia
2.      Roberts CS, Pape HC, Jones AL, et al (2005). Damage control orthopaedics. Evolving concepts in the treatment of patients who have sustained orthopaedic trauma. JBJS 87A: 434-449
3.      Wiabel BH and Rotondo MMF (2012). Damage control surgery: It’s evolution over the last 20 years. Rev. Col. Bras. Cir. 39: 314-321
4.      Dadhwal US and Pathak N (2010) Damage control philosophy in polytrauma. MJAFI 66: 347-349.
5.      Magoumou A, Andaloussi YEl, Fahsi S, et al (2014). Time Management of Open Lower-Leg Fractures in Morocco. Open Journal of Emergency Medicine 2: 53-61
6.      Court-Brown CM, Allan M, Davidson E et al (2013). Epidemiology of Cycling Fractures in Adults. Emergency Medicine. Vol 3 Issue 2: http//dx.doi.org/10.4172/2165-7548.1000139 diakses September 2015 







LAMPIRAN 1
Table 11.Revised Traum Score
Parameter
Measurement
Score
Respiratory rate
10 – 29
≥ 30
6 – 9
1 – 5
0
4
3
2
1
0
Systolic blood pressure
≥ 90
76 – 89
50 – 75
1 – 49
No pulse
4
3
2
1
0
Glasgow coma scale
13 – 15
9 – 12
6 –  8
4 – 5
1
4
3
2
1
0

Table 12. Mangle Extrimity Severity Score
Parameter evaluation
Point
Skeletal/soft tissue injury
·         Low energy (stab, simple fracture, civilian” gunshot wound)
·         Medium energy (open or multiple fractures, dislocation)
·         High energy (close-range  shotgun or military gunshot wound, crush injury)
·         Very high energy (same as above but with gross contamination, soft tissue avulsion

1
2
3
4
Limb ischemia
·         Pulse reduced or abcent but normal perfusionapillary ref
·         Pulseness, paresthesias, diminished cill test
·         Cool, paralyzed, insensate, numb

1
2
3
Shock
·         Systolic blood pressure always > 90 mm Hg
·         Hypotension transiently
·         Persistent hypotension

0
1
2
Year
·         < 30
·         30-50
·         > 50

0
1
2

Table 13. Glasgow Coma Scale
Response to assessment
Scale
Eye opening
·         Spontaneous
·         To speech
·         To pain
·         None 

4
3
2
1
Best motor response
·         Obeys commands
·         Localizes
·         Normal withdrawel (flexion)
·         Abnormal withdrawel (flexion)-decorticate
·         Extension – decebrate
·         None (flaccid)

6
5
4
3
2
1
Verbal response
·         Oriented
·         Confused conversation
·         Inappropriate words
·         Incomprehensible sounds
·         None

5
4
3
2
1


Pasien Fraktur Terbuka
LAMPIRAN 2 ALUR/ALGORITMA TATALAKSANA PASIEN FRAKTUR TERBUKA









No comments:

Post a Comment