Monday, November 9, 2015

FRAKTUR FRAGILITAS: MANAJEMEN FRAKTUR FRAGILITAS DI PUSKESMAS

 Armis
Bagian Orthopaedic dan Traumatologi
Fakultas Kedokteran UGM, Rumah Sakit DR Sardjito
Yogjakarta

A.   PENDAHULUAN (INTRODUCTION)

1.      Batasan (definition):

Fraktur fragilitas adalah fraktur patologis karena kualitas tulang menurun (osteoporosis) sehingga trauma energi ringan (tivial injury) seperti terpleset atau kegiatan sehari-hari dan lain-lain dapat menimbulkan fraktur. Adapun osteoporosis adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik penurunan massa tulang (low bone mass) sehingga rentan terjadi fraktur fragilitas.

2.      Epidemiologi dan faktor risiko

Osteoporosis primer umumnya terjadi pada wanita pasca menoupause (postmenopause) yang merupakan tantangan pada pelayanan kesehatan primer dengan pembiayaan penatalaksanaan yang mahal seperti di US diperkirakan 20% - 30 % dari biaja kesehatan seluruhnya pada wanita ras Kaukasia.



National Osteoporosis Foundataion memperkirakan lebih dari 8 juta wanita menderita osteoporosis dan lebih 14 juta telah terjadi penurunan massa tulang. Kemudian diperkirakan 40% - 50% wanita umur 50 tahun atau lebih mempunyai risiko terjadi fraktur pada perjalanan hidup selanjutnya. Pada survei 1995 terdapat 3.4 juta pasien yang datang ke Gawat Darurat adalah fraktur akibat osteoporosis. Risiko fraktur fragilitas pada penurunan kualitas tulang seperti osteopenia dapat dihitung dengan menggunakan Fracture Assessment Tool/ FRAX (lihat pada internet: http://www.shef.ac.uk/FRAX/tool.aspx?country=46#).

Insidensi osteoporosis pada jenis kelamin pria adalah separoh dari insidensi wanita dan diperkirakan 30% pria umur 60 tahun akan mengalami fraktur fragilitas dalam perjalanan sisa hidupnya. Fraktur fragilitas tersebut perlu dicurigai pada penderita lansia dengan fraktur di daerah hip, tulang belakang, radius distal dan humerus proksimal

Salah satu konsekuensi fraktur fragilitas adalah hilang indenpedensi pasien yang mengalami fraktur hip karena setelah 6 bulan penatalaksanaan hanya beberapa saja (kurang 50%) yang mampu kembali ke aktifitas sebelum fraktur. Dua puluh lima persen memerlukan perawatan di rumah dalam waktu sisa hidup yang sangat terbatas. Antara 3% dan 4% pasien hip fractures umur lebih 50 tahun meninggal sewaktu masuk Rumah Sakit dan risiko meninggal berlanjut meningkat 20% - 25% pada setiap tahunnya.

Fraktur kompresi tulang belakang kurang mendapatkan perhatian pada pelayanan primer akan keluhan nyeri pinggang (severe back pain) sesudah 2 – 3 bulan kejadian dan akan berdampak keterbatasan kegiatan sehari-hari. Kemudian berlanjut nyeri pinggang kronis (chronic back pain) sebanyak 70% dengan keterbatasan aktifitas dan meningkatkan mortality rate sebesar 15% selama 5 tahun pertama (first five years) setelah fraktur.

Ada dua kelompok faktor risiko osteoporosis yaitu kelompok modifiable seperti alkoholisme, perokok, kurus (low body mass), lifestyle, low calcium dan vitamin D intake, pengobatan kortikosteroid lama dan penyakit-penyakit yang menimbulkan peningkatan bone loss dan lain-lain. Factor risiko kelompok nonmodifiable seperti ras kaukasia penduduk Amerika dan Eropa apakah karena faktor genetika, gender wanita dan sebagainya. Faktor risiko tersebut sangat penting pada promosi dan pencegahan osteoporosis.

3.      Patologi

Ilustrasi 1. Siklus penurunan massa tulang (bone mass)


Normal pada usia muda pembentukan tulang (aktifitas osteoblas) lebih unggul dibanding dengan resorbsi tulang (aktifitas osteoklas), namun pada lansia dengan umur lebih 40 tahun maka terjadi penurunan aktifitas osteoblast dan peningkatan aktifitas sel osteoklas sehingga massa tulang mengalami penurunan (Ilustrasi 1).
Perlu diketahui bahwa wanita pasca menopause mengalami penurunan estrogen, aktifitas osteoklas meningkat yang berati terjadi pula peningkatan resorbsi tulang tanpa diimbangi pembentukan tulang. Peningkatan resorbsi tulang terjadi sesuai dengan peningkatan umur sehingga terjadi osteoporosis. Akibat hal tersebut osteoporosis juga disebut penyakit tersebunyi (silent disease). Banyak para teman sejawat di pelyanan primer (PUSKESMAS) terfokus pada fraktur dan lupa masalah osteoporisi.

Setiap pasien osteoporosis perlu penjaringan penyebab pengoroposan tulang akibat penyakit tumor, infeksi atau akibat penyakit metabolik seperti penyakit Ricket (usia muda), penyakit Paget (usia tua/lansia)

B.   DIAGNOSIS

1.      Riwayat penyakit (History taking)

·  Umumnya pasien wanita umur decade pertama pasca menopause datang ke PUSKESMAS/Unit Gawat Darurat RS akibat fraktur seperti fracture hip, fraktur radius distal atau fraktur humerus proksimal atau fraktur tulang belakang, bukan akibat osteoporosis yang dideritanya. Riwayat mekanisme energi trauma mempunyai hubungan kuat antara osteoporosis dengan fraktur hip. Kerapuhan tulang (osteoporosis) rentan terjadi fraktur akibat trauma energi ringan (low energy trauma) seperti terpleset, aktifitas sehari-hari, dan lain-lain. Pada pasien dengan healthy bone memerlukan trauma energi lebih kuat (high energy trauma).

·      Semua faktor risiko osteoporosis harus menjadi perhatian GP dan dokter keuarga pada history taking seperti yang diterangkan sebelumnya, gender wanita dengan defisiensi estrogen, low calcium intake, peminum alkohol, inadekuat aktifitas fisik, kurus (low body mass index), riwayat perokok, riwayat fraktur keluarga atau pribadi dan penggunaan obat (kortiokosteroid) yang berdampak terjadinya osteoporosis. Kemudian perlu mengumpulkan informasi penyakit jantung, diabetes, hipertensi, kesehatan mata, pendengaran dan keseimbangan pasien. Kesimpulan faktor risiko osteoporosis dapat dibagi menjadi:


a.       Potentially modifiable yang meliputi:
1)      Perokok, alkoholisme atau peminum kopi (Smoker/Alcohol or coffee lover)
2)      Penggunaan kortiko steroid (Corticosteroid using)
3)      Berlebihan vitamin A (Vit. A consumption)
4)      Deficiency vit.D
5)      Konsentrasi garam tinggi pada makanan (High salt concentration in food)
6)      Makanan intake kurang (Poor intake)
7)      Kurus (Thin)
8)      Kurang olah raga (Less exercises)

b.      Non-modifiable seperti:
1)      Ada riwayat pribadi/keluarga masalah fraktur (History of fracture)
2)      Ras (Ethnic)
3)      Lansia (Elderly)
4)      Wanita (Women)
5)      Demensia (Dementia)

·         Riwayat fraktur seperti pasien tidak mampu berdiri untuk fraktur hip atau rasa nyeri sehingga keterbatasan gerakan seperti fraktur radius distal, humerus proksimal atau fraktur pada tulang belakang merupakan gejala utama pada history taking.

2.      Pemeriksaan fisik (physical examination)

·         Inspeksi (looking)
Deformitas seperti bengkak/swelling, pemendekan atau rotasi pada daerah lesi dan keutuhan kulit disekital lesi guna memprediksi fraktur terbuka. Warna kulit yang pucat di bagian distal yang artinya ada kemungkinan gangguan vaskuler. Contoh gambar 1

                      

Gb. 1. Seorang wanita 78 tahun terpeleset di kamar mandi dengan fraktur fragilitas pertrokhanter femur kiri

·         Palpasi (feel)
Rasa nyeri tekan atau tenderness, krepitasi dan gerakan abnormal didaerah yang mengalami fraktur. Bila jaringan di atas fraktur tipis maka dapat dirasakan adanya step off. Perabaan juga dapat menentukan gangguan neurovaskular bagian distal fraktur dengan adanya perubahan temperatur atau dengan pemeriksaan capillary refill test dan sensibelitas.

·         Gerakan (move)
Pemeriksaan gerakan aktif dan pasif sendi proksimal-distal daerah fraktur mengalami keterbatasan akibat nyeri. Pemeriksaan juga dapat memprediksi adanya perluasan garis fraktur meluas ke sendi dan gangguan neurologis dan kekuatan otot.

3.      Pemeriksaan penunjang (investigation)

·   Pemeriksaan laboratorium: darah rutin guna menentukan konsentrasi Hb dan kemungkinan infeksi serta pemeriksaan elektrolit dan pemeriksaan enzyme. Prediksi osteoporosis perlu pemeriksaan serum calcium, vitamin D, hormone thyroid dan parathyroid dan enzyme alkaline phosphatase

·  Pemeriksaan Rontgen (x-rays): proyeksi AP dan lateral cukup memadai untuk mengkorfirmasi atau menentukan diagnosis fraktur dan perencanaan tindakan serta prognosis. Pemeriksaan radiografi juga dapat menentukan osteoporosis tetapi kurang sensitif (< 30%) untuk mendeteksi bone loss

·   Pemeriksaan bone mineral density/BMD dapat digunakan Dual Energy X–ray Absorptiometry (DEXA) untuk pasien lansia yang mengalami fraktur dengan kemungkinan osteoporosis. Pemeriksaan DEXA dilakukan pada daerah yang lebih sensitif seperti di tulang belakang, hip yang mengekspresikan jumlah gram mineral per square-centimeter tulang. Bila hasilnya (WHO):

T - score: 0 sampai – 1 adalah normal
T - score: -1 sampai -2.5 adalah Osteopenia
T - score: ≤ -2.5 adalah Osteoporosis
T – score: ≤ -2.5 dengan fraktur adalah Osteoporosis berat

·         Berdasarkan petunjuk National Osteoporosis Foundation ada indikasi pemeriksaan bone mineral analysis dengan menggunakan DEXA di Negara yang maju yaitu: semua wanita menopause, semua pria umur lebih 65 tahun atau dengan hypoganodism, wanita yang mendapat terapi hormone dalam waktu lama, pria-wanita dengan deformitas tulang belakang pada gambaran x-ray atau yang menderita hyperparathyroidism, mendapat terapi glucocorticoid kurun waktu lama atau obat yang mempunyai efek osteoporosis.

·     Pemeriksaan bone density dapat dilakukan dengan alat peripheral bone densitometry pada antebrachii, tangan dan tulang kalkaneus. Interpretasi hasil alat ini ada sedikit perbedaan atau tidak benar terutama wanita muda atau perimenopause dan akan mmenghasilkan palse negative lebih besar di setiap daerah yang diperiksa tetapi pada kalkaneus dan antebrachii akan lebih tepat.

4.    PERMASALAHAN

·     Meningkatnya harapan hidup manusia termasuk Indonesia dapat terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia akibat adanya peningkatan pelayanan kesehatan dan sosial-ekonomi seperti terlihat ilustrasi 2.
                           
Ilustrasi 2. Pyramid populasi (WHO)

·    Bila kita konversi kepada penduduk lansia Indonesia berdasarkan statistik (BPS) 2010 berjumlah 18 juta (pria dan wanita) artinya sepertiganya akan mengalami jatuh yaitu sebanyak 6 juta orang dan 40% perlu perawatan di RS yaitu 2 juta. Sebanyak 800.000 populasi memerlukan tindakan operasi karena fraktur hip dengan biaya minimal perorang 10 juta rupiah. Maka dapat diperkirakan penghamburan biaya sebesar 8 triliun rupiah setiap tahun dan meningkat pada masa yang akan datang seperti prediksi WHO. Pertanyaanya adalah bagaimana kita menurunkan/menghemat biaya mahal tersebut yang dikeluarkan oleh masyarakat lansia dan pemerintah Indonesia.

·       Oleh karena itu, dapat disimpulkan secara epidemiologi populasi lansia di Indonesia akan terjadi permasalahan seperti:
a.       Sepertiga populasi lansia tersebut akan mengalami jatuh atau trauma
b.      Seperohnya akan terjadi trauma rekuren
c.       Satu persen dari fraktur fragilitas akan terjadi fraktur fragilitas di hip dan membutuhkan perawatan di Rumah Sakit
d.      40-50% fraktur fragilitas di hip tersebut membutuhkan pelayanan  home care




·         Penyebab fraktur fragilitas pasien lansia akibat jatuh seperti pada table 1:
Table 1. Faktor risiko/penyebab jatuh pada lansia
    I.        FAKTOR RISIKO BIOLOGIS (biological risk factors)
·         Mobility problem
·         Chronic health problem
·         Vision problem
·         Loss of sensation of feet
    II.            BEHAVIORAL RISK FACTORS (LIFESTYLE)

·         Inactivity
·         Medication side effect atau polypharmacy
·         Alcohol and cigarette using
III.        ENVIRONMENT RISK FACTORS

·         Home and environment hazard
·         Incorrected assisted devices
·         Poorly designed public space
IV.        SOSIAL-ECONOMIC RISK FACTORS

·         Low income
·         Lack of health services
·         Inadequate social interaction
·         Minimal community resources

·    Fraktur fragilitas pasien lansia umumnya akibat jatuh di luar rumah seperti pada ilustrasi 3 di bawah ini
                     

Ilustrasi 3: lokasi lansia jatuh
·   Pada umumnya pelayanan kesehatan pada fraktur fragilitas hanya terfokus pada fraktur saja.

·    Low bone density berakibat fiksasi implant yang dipakai tidak terfiksir sempurna sehingga akan meningkatkan angka implant failure dan oleh karena itu membutuhkan seleksi implant yang lebih sempurna dengan pembiayaan yang lebih mahal.

·  Pasien lansia osteoporosis dengan fraktur fragilitas terjadi peningkatan angka komplikasi sebelum dan sesudah tindakan.

·  Pasien lansia mempunyai masalah fraktur fragilitas, degenerasi sendi terutama penumpu berat badan dan penurunan fungsi organ-organ tubuh /komorbiditas (masalah jantung, diabetes dan hipertensi), gangguan keseimbangan, penurunan kekuatan otot, penurunan penglihatan dan pendengaran sehingga angka kematian pre-pasca tindakan akan meningkat.

·    Pasien lansia akan terjadi penurunan kapasitas fungsionalnya seperti terlihat pada ilustrasi 4 dibawah ini


      

Ilustrasi 4: Pernurunan aktifitas


RINGKASAN:
a.       Penurunan struktur dan fungsi tubuh sehingga berdampak aktifitas dan partisipasi dengan masyarakat seperti ilustrasi 5 di bawah ini


                             

b.        Peningkatan pembiayaan (langsung dan tidak langsung) seperti terlihat ilustrasi 6 di bawah ini

                     
Akibatnya terjadi peningkatan angka mortalitas dan disabilitas, hilangnya kemadirian disertai pembiayaan penatalaksanaan yang mahal

5.    PENATALAKSANAAN (lihat algoritma pelayanan fraktur fragilitas di belakang)

Ada tiga aspek pemikiran tatalaksana yaitu fraktur fragilitas, osteoporosis dan lansia (elderly) dengan
TUJUAN PENATALAKSANAAN:
·         TUJUAN UMUM
Mengembalikan fungsi pasien kesemula atau sebelum terjadi fraktur fragilitas.
·         TUJUAN KHUSUS:
1)      Program promosi dan pencegahan fraktur fragilitas dan osteoporosis pada masyarakat lansia (promotin and prevention)
2)      Diagnosis dan penatalaksaanan pasien fraktur fragilitas
3)      Penatalaksanaan osteoporosis pada pasien fraktur fragilitas
4)      Tatalaksana pasien lansia (elderly)


                                   


1)      Pasien lansia dengan fraktur fragilitas dengan atau tanpa osteoporosis datang berobat dengan keluarga atau masyarakat atau tim P3K

1.     Manajemen fraktur fragilitas
·        Lifesaving
·        Limb threatening
2.     Manajemen osteoporosis
3.     Tatalaksana lansia


RS Sawasta

 

A.     PUSKESMAS (level I)

·         ALUR PASIEN (ilustrasi di atas):
2)      Pasien lansia dengan fraktur fragilitas dengan atau tanpa osteoporosis datang berobat rujukan pelayanan swasta karena alasan tertentu.

·         TINDAKAN:
                                                                       I.         Fraktur Fragilitas
1)      Terapi/tindakan temporer/sementara:
a.       Emergency: Lifesaving dan limb threatening (dengan fasilitas yang ada) terutama pasien lama tanpa pertolongan seperti pasien di Rumah sendirian.
·         Lifesaving seperti resusitasi cairan atau kardiokpulmoner
·         Limb threatening yaitu mengembalikan ke lurusan (normal alignment) guna menghilangkan penekanan neurovaskuler dan kemudian pasang imobilisasi(splint)
·         Fraktur fragilitas terbuka (open fragility fracture): irrigation (cuci) dengan cairan fisilogis:
o   Beri antibiotik spektrum luas dosis 2 gr dan pain killer
o   Derajat I/luka diameter ≤ 1 cm, sebanyak 3 liter
o   Derajat II/luka diameter > 1 – 10 cm dan sedikit kotor, sebanyak 4 liter
o   Derajat III/luka diameter > 10 cm dan sangat kotor, sebanyak 6 liter
b.      Kemudian luka tutup dengan kasa steril, bebat dan sedikit menekan serta pasang splint/immobilization.
c.       symptomatic / Palliative
d.      transportasi untuk dirujuk ke RSUD atau RSUP/RSN
e.       Secara teratur (tiap dua tahun) memeriksa BMD sebagai follow up



2)      Terapi/tindakan definitif
a.       Terapi definitif berdasarkan kompetensi dokter umum/dokter keluarga: seperti kontusi, fraktur fragilitas non-displaced atau inkomplit tertutup dengan memberikan splint/immobilisasi (Price = protection, rest, immobilization and elevation), pain killer dll.
b.      Rujuk Bila ada:
a)      Fraktur fragilitas tidak stabil, fraktur hip, fraktur fragilitas tulang belakang dan fraktur fragilitas terbuka setelah dilakukan irigasi
b)      Disertai komorbiditas atau masalah lain seperti keterangan di atas
c)      Gagal atau
d)      Berdasarkan permitaan pasien/keluarga
c.       Rehabilitasi sederhana aktif/pasif

                                                                II.   Osteoporosis dan lansia
Persentase jatuh pada lansia berdasarkan publikasi di majalah kedokteran beberapa Negara seperti UK, New Zealand, US, dan Belanda terlihat lansia umur diatas 64 tahun sebanyak 28-35% dengan rincian umur 70 tahun diperkirakan 32-42% setiap tahun atau sepertiga masyarakat lansia di US akan mengalami jatuh. 30-50% masyarakat lansia dirawat di RS akibat fraktur hip atau trauma kepala setiap tahun dan 40% akan terjatuh kembali.

Insidensi trauma per 1000 populasi lansia terjadi peningkatan sesuai dengan pertambahan umur. Lansia wanita lebih banyak daripada pria. Perbedaan jender kemungkinan berhubungan dengan income rendah pada wanita dan perbedaan social isolation. Pada masa akan datang terjadi peningkatan jumlah lansia yang terutama  di Negara berkembang. Pertanyaannya adalah dapatkah kita menurunkan angka jatuh pada populasi lansia

Angka kematian per 100.000 populasi lansia di US (2001) terjadi peningkatan sesuai dengan penambahan umur kedua jenis kelamin dan lansia pria lebih banyak daripada wanita. Perbedanan ini mungkin disebabkan pria lebih mobil/aktif atau faktor sikap perilaku pria melebihi dari wanita. Nonfatal rate wanita lebih tinggi daripada pria. Pada 2004 di US terjadi kematian berjumlah 14.900 dengan faktor risiko umur, kelemahan, keterbatasan mobilitas, merupakan kontribusi kejadian ini.

Hospitalisasi setiap tahun dari 1993-2003 akibat fraktur hip per 100.000 populasi lansia di US lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Tetapi angka hospitalisasi lansia wanita terjadi penurunan yang signifikans. Hal ini mungkin disebabkan manajemen osteoporosis pada lansia wanita sementara pria tidak berubah. Dapatkah angka ini diturunkan pada masa yang datang.

GP dan dokter keluarga pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien lansia jatuh selalu terfokus atau cendrung jatuh tersebut sebagai akibat trauma dan dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien. Kita lupa menilai risiko jatuh pada lansia

Oleh karena itu, GP dan dokter keluarga perlu pencegahan fraktur fragilitas masyarakat seperti dibawah ini
a.       PROMOSI dan PENCEGAHAN (promotion and prevention): Dokter umum dan dokter keluarga memegang peranan pada promosi-pencegahan jatuh dan osteoporosis pada masyarakat lansia di tempat dia bertugas.
Tujuan promosi-pencegahan jatuh dan osteoporosis adalah: Pasien lansia tetap aktif, independen dan safe healthy lifestyle dengan strategi pencegahan jatuh dengan motto: “stay active and stay safe in healthy lifestyle of elderly people”
Pencegahan jatuh tersebut dapat dicapai dengan: (1) harus dapat membangaun kesadaran masyarakat dan pemerintah bahwa kesehatan lansia adalah sangat penting. (2) bagaimana lansia dapat mencapai gaya hidup sehat, nyaman, aktif dan tidak ketergantungan, (3) mengidentifikasi faktor risiko pada gaya hidup sehat dihari tua, dan (4) mengimplementasikan pencegahan jatuh pada lansia. Oleh karena itu GP dan dokter keluarga harus:
·         Melakukan pendidikan pencegahan jatuh pada masyarakat lansia,
·         Program latihan Tai Chi, latihan strengthening dan keseimbangan dan berkonsultasi dengan dokter ahli syaraf,
·         Mengurangi polifarmasi,
·         Melakukan koreksi kaca mata dan telinga atau berkonsultasi dengan dokter ahli mata atau ahli THT,
·         Home safety dan koreksi masalah kaki, sepatu, serta beradaptasi dengan lingkungan.



Adapun healthy lifestyle yaitu:
·         Healthy diet,
·         Active physical dan social lifestyle,
·         Adequate calcium,
·         Exposure sun light dan vitamin D,
·         Weight bearing exercises dan
·         Avoid alcoholism dan smoking.
Oleh karena itu GP atau dokter keluarga harus mempunyai perencanaan: program yang efektif dan mempersiapkan informasi ke masyarakat umum dan terutama masyarakat lansia seperti program pada ilustrasi 7 dan 8 di bawah ini

b.  Pada pemeriksaan DEXA populasi lansia tidak/belum mengalami osteporosis maka promosi dan pencegahan seperti ilustrasi 7 di bawah ini

                                         
Pasien dipertahankan kekuatan tulang (bone strength) dan mencegah faktor risko, makan yang mencukupi kebutuhan kualitas tulang, latihan, dan mencegah jatuh. Bila pasien pada pemeriksaan DEXA didiagnosis osteoporosis maka promosi dan pencegahan seperti ilustrasi 8 di bawah ini
 
c.    FARMAKOLOGIK: Dokter umum atau dokter keluarga mempunyai kompetensi melakukan terapi farmakologik pada pasien lansia dengan osteoporosis. Bila mereka ragu-ragu dapat berkonsultasi dengan ahli orthopaedi dan traumatologi atau ahli penyakit dalam atau ahli kebidanan. Terapi farkologik pasien osteoporosis adalah sebagai berikut:
1.      Hormonal: estrogen (0.625 mg) dan estradiol (0.5 mg) atau selective estrogen receptor modulation (SERM) dan semua terapi hormonal harus berkonsultasi dengan ahli kebidanan
2.      Bisphosphonates merupakan potent inhibitor bone resorption dan mampu menambah bone mass. Indikasi pemakaian preparat ini untuk T score ≤ -2.0 pada kolum femur sampai 10 tahun atau T score > -2.0 pada kolum femur dan T score -2.5 pada tulang belakang atau berdasarkan saran seperti pada table 2 – 5 di bawah ini
                                    

Tabel 2. Dosis pemberian bisphosphonate

obat
Dosisi oral

intravenous
Setiap hari
Setiap minggu
 Setiap bulan
Alendronate
(Fosamax)
5 dan 10 mg
24 dan 70 mg


Risedronate (Actonel)
5 mg
35 mg
150 mg

Ibandronate (Boniva)
2.5 mg

150 mg
3 mg setiap 3 bulan
Zoledronate (Reclast)



5 mg sekali setahun

Tabel 3. Indikasi pemakaian bisphosphonate dibawah ini

Obat
Osteoporosis postmenopausal
Osteoporosis akibat obat

Pria
Pencega-han
Terapi
Pence-gahan
Tera-pi
Alendronate (Fosamax)

Risedronate (Actonel)
Ibandronate (Boniva)



Zolendronate (Reclast)
√ (dosis 5 mg IV selama > 5 menit setiap 2 tahun)
√ (dosis 5 mg IV selama > 15 menit per tahun)




Tabel 4. pemberian bisphosphonate dan obat holiday
Risiko fraktur
Lama pengobatan
Lama drug holiday
Rendah/low
Indikasi jarang
NA
Mildly increased
Pengobatan rata-rata 5 tahun
Stay off bisphosphonate until BMD menurun atau terjadi fraktur
Moderately increased
Treat for 5 – 10 tahun
Stay off bisphosphonate for 2-3 tahun (atau kurang bila BMD menurun atau terjadi fraktur)
High
Treat for 10 tahun
Stay off bisphosphonate untuk 1-2 tahun (atau kurang bila BMD menurun atau terjadi fraktur). Pengobatan alternatif adalah raloxifene, teriparatide, bisa diberikan selama holiday from bisphosphonate

Berdasarkan penelitian pengobatan farmakologik terjadi penurunan fraktur sebagai berikut (tabel 5):


Tipe fraktur
Relative risk reduction (95% CI)
Alendro-nate
Risedro-nate
Ibandro-nate
Zolendro-nate
1. Tulang belakang
44% (32-54%)
39% (25-50%)
50 % (62-77%)
70% (62-77%)
2. hip
38% (2-60%)
26% (7-41%)
NS
41% (17-58%)
3. Wrist
33% (-31-66%)
32% (-8-57%)
NS
19% (-6-38%)
4. Tempat lain
19% (3-32%)
24% (9-36%)
NS
25% (13-36%)

Berdasarkan EBM (evidence)
·         Bisphosphonate adalah terapi lini pertama pada osteoporosis (rekomendasi B)
·         Pasien T score ≤ -2.5 pada kolum femur setelah 3-5 tahun pengobatan mempunyai risiko fraktur tulang belakang sangat tinggi dan oleh karena itu dianjurkan terapi sampai 10 tahun (rekomendasi B)
·         Pasien dengan fraktur tulang belakang dan T score mencapai -2.0 (rekomendasi B)
·         Pasien fraktur femur T score > -2.0 mempunyai risiko fraktur tulang belakang rendah dan tidak ada keuntungan pengobatan lebih dari 3-5 tahun (rekomendasi B)
·         Pengobatan pasien pria dan wanita postmenopayse 5 mg IV selama > 15 menit seksli setahun (rekomendasi B)
·         Pencegahan pada wanita postmenopause 5 mg IV selama > 5 menit setiap dua tahun (rekomendasi B)
3.      Calcium intake dan serum vitamin D seperti terlihat pada table 6 di bawah ini
Tabel6 . Asupan calcium, vitamin D dan K pada pasien osteoporosis
Nutrient
Rekomendasi per hari
Makanan yang mengandung nutrien
·         Calcium
≥ 800 mg-1000 mg dikomsumsi setiap makan
Susu, kacang kedelai, teri, udang dll
·         Vitamin D
400-800 IU
Ubur-ubur, salmon, belut, sinar matahari,  dll
·         Vitamin K
250-300 ug
Telor, kacang kedelai, bayam brokoli dll
·         Protein
Wanita 50 gr
Pria 60 gr


4.      Obat-obat lain

·         HOME CARE/PUSKESMAS: Follow up pasien atau rujukan follow up dari RSUD atau RSUP/RSN
Follow up pasien yang mendapatkan pengobatan osteoporosis memerlukan jangka waktu lama. Pengukuran BMD dengan DEXA dapat dilakukan setiap dua tahun dan pengukuran kadar calcium dan 25-hidroksi vitamin D setelah terapi 5 tahun. Pemeriksaan kadar N-telopeptide sebagai petunjuk aktifitas metabolik yang dapat membantu dokter pada pengambilan keputusan untuk kelanjutan atau perubahan terapi. Follow up juga dilakukan dari rujukan dokter ahli orthopaedi dan traumatologi dengan beberapa petujuk dan kapan dirujuk kembali ke dokter ahli tersebut untuk penentuan perubahan follow up berikutnya.
·         REHABILITASI
·         PELAYANAN END OF LIFE


C.   KOMPLIKASI

·   Pasien lansia sangat mudah/rentan terjadi komplikasi medis pada fraktur fragilitas. Komplikasi pengobatan farmakologik osteoporosis dapat menimbulkan kanker (breast cancer), vaginal bleeding dan breast tenderness, mood disturbances dan penyakit gallbladder pada terapi hormone replacement. Demikian juga pemberian obat-obat osteoporosis lainnya
·         Infeksi pasca operasi dan komplikasi fraktur sangat mudah terjadi.
·      ORIF dan OREF fraktur fragilitas dengan osteoporosis sangat sukar mencapai fiksasi yang stabil, sering terjadi fixation loosening dan terjadi refraktur
·     Monitoring ketat pada pasien lansia karena dengan mudah terjadi komplikasi pada fungsi organ-organ yang menurun (visual changes, hearing problem, neurologic problem  seperti Parkinson, muscles weakness/stroke, transient ischemic attacks), cardiovascular problem (arrhythmia, hypertension atau hypotension dan peripheral vascular diseases), dementia, joint degeneration dan systemic illness (metabolic defect atau malignancy)
·         Pasien lansia dengan osteoporosis dapat menimbulkan rasa nyeri kronis (chronic pain), social withdrawal, loss of independence dan meninggal terutama pada fraktur fragilitas hip.



KEPUSTAKAAN
1.      Anderson GL, Limacher M, Assaf AR, et al. Effects of conjugated equine estrogen in postmenopausal women with hysterectomy: the Women's Health Initiative randomized controlled trial. JAMA. 2004 Apr 14;291(14):1701–1712.
2.      Bernstein J (editor). Musculoskeletal Medicine.  American Academy of Orthopaedic Surgeons. Rosemont, Illinois. 2003
3.      Cummings SR, Melton LJ. Epidemiology and outcomes of osteoporotic fractures. Lancet. 2002 May 18;359(9319):1761–1767.
4.      Cummings SR, San Martin J, McClung MR, et al. Denosumab for prevention of fractures in postmenopausal women with osteoporosis. N Engl J Med. 2009 Aug 20;361(8):756–765.
5.      Ekman EF. The role of the orthopaedic surgeon in minimizing mortality and morbidity associated with fragility fractures. J Am Acad Orthop Surg. 2010 May; 18(5):278–285.
6.      Ettinger B, Black DM, Mitlak BH, et al. Reduction of vertebral fracture risk in postmenopausal women with osteoporosis treated with raloxifene: results from a 3-year randomized clinical trial. Multiple Outcomes of Raloxifene Evaluation (MORE) Investigators. JAMA. 1999 Aug 18; 282(7):637–645.
7.      Gosch M, Kammerlander C, Roth T, et al. Surgeons save bones: an algorithm for orthopedic surgeons managing secondary fracture prevention. Arch Orthop Trauma Surg. 2013 Aug; 133(8):1101–1108.
8.      Green WB (editor): Essentials of Musculoskeletal Care. American Academy of Orthopaedic Surgeons. Rosemont, Illinois. 2001
9.      Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med. 2007 Jul 19; 357(3):266–228.
10.  Lippman ME, Cummings SR, Disch DP, et al. Effect of raloxifene on the incidence of invasive breast cancer in postmenopausal women with osteoporosis categorized by breast cancer risk. Clin Cancer Res. 2006 Sep 1;12(17):5242–5247.
11.  Lyles KW, Colón-Emeric CS, Magaziner JS, et al. Zoledronic acid and clinical fractures and mortality after hip fracture. N Engl J Med. 2007 Nov 1;357(18):1799–1809.
12.  National Osteoporosis Foundation. Clinician's guide to prevention and treatment of osteoporosis. Washington DC; 2008.
13.  Rossouw JE, Anderson GL, Prentice RL, et al. Risks and benefits of estrogen plus progestin in healthy postmenopausal women: principal results From the Women's Health Initiative randomized controlled trial. JAMA. 2002 Jul 17;288(3):321–333.
14.  Russell RG, Watts NB, Ebetino FH, et al. Mechanisms of action of bisphosphonates: similarities and differences and their potential influence on clinical efficacy. Osteoporos Int. 2008 Jun; 19(6):733759.
15.  Siris ES, Harris ST,  Rosen CJ, et al. Adherence to bisphosphonate therapy and fracture rates in osteoporotic women: relationship to vertebral and nonvertebral fractures from 2 US claims databases. Mayo Clin Proc. 2006 Aug; 81(8):1013–1022.
16.  Solomon L and Nayagam S (2010). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th Edition, HODDER & ARNOLD, London, British.
17.  Unnanuntana A, Gladnick BP, Donnelly E, et al. The assessment of fracture risk. J Bone Joint Surg Am. 2010 Mar; 92(3):743–753.
18.  Wicherts IS, van Schoor NM, Boeke AJ, et al. Vitamin D status predicts physical performance and its decline in older persons. J Clin Endocrinol Metab. 2007 Jun;92(6):2058– 2065.



No comments:

Post a Comment