Armis
Bagian Orthopaedic
dan Traumatologi
Fakultas
Kedokteran UGM, Rumah Sakit DR Sardjito
Yogjakarta
A.
PENDAHULUAN (INTRODUCTION)
1. Batasan (definition):
Fraktur fragilitas
adalah fraktur patologis karena kualitas tulang menurun (osteoporosis) sehingga
trauma energi ringan (tivial injury)
seperti terpleset atau kegiatan sehari-hari dan lain-lain dapat menimbulkan
fraktur. Adapun osteoporosis adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik
penurunan massa tulang (low bone mass)
sehingga rentan terjadi fraktur fragilitas.
2. Epidemiologi dan faktor risiko
Osteoporosis
primer umumnya terjadi pada wanita pasca menoupause (postmenopause) yang merupakan tantangan pada pelayanan kesehatan primer
dengan pembiayaan penatalaksanaan yang mahal seperti di US diperkirakan 20% -
30 % dari biaja kesehatan seluruhnya pada wanita ras Kaukasia.
National
Osteoporosis Foundataion memperkirakan lebih dari 8
juta wanita menderita osteoporosis dan lebih 14 juta telah terjadi penurunan
massa tulang. Kemudian diperkirakan 40% - 50% wanita umur 50 tahun atau lebih
mempunyai risiko terjadi fraktur pada perjalanan hidup selanjutnya. Pada survei
1995 terdapat 3.4 juta pasien yang datang ke Gawat Darurat adalah fraktur
akibat osteoporosis. Risiko fraktur fragilitas pada penurunan kualitas tulang
seperti osteopenia dapat dihitung dengan menggunakan Fracture Assessment Tool/ FRAX (lihat pada internet: http://www.shef.ac.uk/FRAX/tool.aspx?country=46#).
Insidensi osteoporosis pada jenis kelamin pria
adalah separoh dari insidensi wanita dan diperkirakan 30% pria umur 60 tahun
akan mengalami fraktur fragilitas dalam perjalanan sisa hidupnya. Fraktur fragilitas
tersebut perlu dicurigai pada penderita lansia dengan fraktur di daerah hip, tulang belakang, radius distal dan
humerus proksimal
Salah satu
konsekuensi fraktur fragilitas adalah hilang indenpedensi pasien yang mengalami
fraktur hip karena setelah 6 bulan
penatalaksanaan hanya beberapa saja (kurang 50%) yang mampu kembali ke
aktifitas sebelum fraktur. Dua puluh lima persen memerlukan perawatan di rumah
dalam waktu sisa hidup yang sangat terbatas. Antara 3% dan 4% pasien hip fractures umur lebih 50 tahun
meninggal sewaktu masuk Rumah Sakit dan risiko meninggal berlanjut meningkat
20% - 25% pada setiap tahunnya.
Fraktur kompresi
tulang belakang kurang mendapatkan perhatian pada pelayanan primer akan keluhan
nyeri pinggang (severe back pain)
sesudah 2 – 3 bulan kejadian dan akan berdampak keterbatasan kegiatan
sehari-hari. Kemudian berlanjut nyeri pinggang kronis (chronic back pain) sebanyak 70% dengan keterbatasan aktifitas dan
meningkatkan mortality rate sebesar
15% selama 5 tahun pertama (first five
years) setelah fraktur.
Ada dua kelompok
faktor risiko osteoporosis yaitu kelompok modifiable
seperti alkoholisme, perokok, kurus (low
body mass), lifestyle, low calcium
dan vitamin D intake, pengobatan
kortikosteroid lama dan penyakit-penyakit yang menimbulkan peningkatan bone loss dan lain-lain. Factor risiko
kelompok nonmodifiable seperti ras
kaukasia penduduk Amerika dan Eropa apakah karena faktor genetika, gender
wanita dan sebagainya. Faktor risiko tersebut sangat penting pada promosi dan
pencegahan osteoporosis.
3. Patologi
Ilustrasi 1. Siklus penurunan massa tulang (bone mass)
Normal pada usia muda pembentukan tulang (aktifitas
osteoblas) lebih unggul dibanding dengan resorbsi tulang (aktifitas osteoklas),
namun pada lansia dengan umur lebih 40 tahun maka terjadi penurunan aktifitas
osteoblast dan peningkatan aktifitas sel osteoklas sehingga massa tulang
mengalami penurunan (Ilustrasi 1).
Perlu diketahui bahwa wanita pasca menopause
mengalami penurunan estrogen, aktifitas osteoklas meningkat yang berati terjadi
pula peningkatan resorbsi tulang tanpa diimbangi pembentukan tulang.
Peningkatan resorbsi tulang terjadi sesuai dengan peningkatan umur sehingga
terjadi osteoporosis. Akibat hal tersebut osteoporosis juga disebut penyakit tersebunyi
(silent disease). Banyak para teman
sejawat di pelyanan primer (PUSKESMAS) terfokus pada fraktur dan lupa masalah
osteoporisi.
Setiap pasien
osteoporosis perlu penjaringan penyebab pengoroposan tulang akibat penyakit
tumor, infeksi atau akibat penyakit metabolik seperti penyakit Ricket (usia muda), penyakit Paget (usia tua/lansia)
B.
DIAGNOSIS
1. Riwayat penyakit (History taking)
· Umumnya
pasien wanita umur decade pertama pasca menopause datang ke PUSKESMAS/Unit
Gawat Darurat RS akibat fraktur seperti fracture
hip, fraktur radius distal atau fraktur humerus proksimal atau fraktur
tulang belakang, bukan akibat osteoporosis yang dideritanya. Riwayat mekanisme
energi trauma mempunyai hubungan kuat antara osteoporosis dengan fraktur hip. Kerapuhan tulang (osteoporosis)
rentan terjadi fraktur akibat trauma energi ringan (low energy trauma) seperti terpleset, aktifitas sehari-hari, dan
lain-lain. Pada pasien dengan healthy
bone memerlukan trauma energi lebih kuat (high energy trauma).
· Semua
faktor risiko osteoporosis harus menjadi perhatian GP dan dokter keuarga pada history taking seperti yang diterangkan
sebelumnya, gender wanita dengan defisiensi estrogen, low calcium intake, peminum alkohol, inadekuat aktifitas fisik,
kurus (low body mass index), riwayat
perokok, riwayat fraktur keluarga atau pribadi dan penggunaan obat
(kortiokosteroid) yang berdampak terjadinya osteoporosis. Kemudian perlu
mengumpulkan informasi penyakit jantung, diabetes, hipertensi, kesehatan mata,
pendengaran dan keseimbangan pasien. Kesimpulan faktor risiko osteoporosis
dapat dibagi menjadi:
a. Potentially modifiable
yang meliputi:
1)
Perokok, alkoholisme atau peminum kopi (Smoker/Alcohol or coffee lover)
2)
Penggunaan kortiko steroid (Corticosteroid using)
3)
Berlebihan vitamin A (Vit. A consumption)
4) Deficiency vit.D
5)
Konsentrasi garam tinggi pada makanan (High salt concentration in food)
6)
Makanan intake
kurang (Poor intake)
7)
Kurus (Thin)
8)
Kurang olah raga (Less
exercises)
b.
Non-modifiable seperti:
1) Ada riwayat pribadi/keluarga masalah fraktur (History of fracture)
2) Ras (Ethnic)
3) Lansia (Elderly)
4) Wanita (Women)
5) Demensia (Dementia)
·
Riwayat
fraktur seperti pasien tidak mampu berdiri untuk fraktur hip atau rasa nyeri sehingga keterbatasan gerakan seperti fraktur
radius distal, humerus proksimal atau fraktur pada tulang belakang merupakan
gejala utama pada history taking.
2. Pemeriksaan fisik (physical examination)
·
Inspeksi (looking)
Deformitas seperti
bengkak/swelling, pemendekan atau
rotasi pada daerah lesi dan keutuhan kulit disekital lesi guna memprediksi
fraktur terbuka. Warna kulit yang pucat di bagian distal yang artinya ada
kemungkinan gangguan vaskuler. Contoh gambar 1
Gb. 1.
Seorang wanita 78 tahun terpeleset di kamar mandi dengan fraktur fragilitas
pertrokhanter femur kiri
·
Palpasi (feel)
Rasa nyeri tekan
atau tenderness, krepitasi dan
gerakan abnormal didaerah yang mengalami fraktur. Bila jaringan di atas fraktur
tipis maka dapat dirasakan adanya step
off. Perabaan juga dapat menentukan gangguan neurovaskular bagian distal
fraktur dengan adanya perubahan temperatur atau dengan pemeriksaan capillary refill test dan sensibelitas.
·
Gerakan (move)
Pemeriksaan
gerakan aktif dan pasif sendi proksimal-distal daerah fraktur mengalami
keterbatasan akibat nyeri. Pemeriksaan juga dapat memprediksi adanya perluasan
garis fraktur meluas ke sendi dan gangguan neurologis dan kekuatan otot.
3. Pemeriksaan penunjang (investigation)
· Pemeriksaan
laboratorium: darah rutin guna menentukan konsentrasi Hb dan kemungkinan
infeksi serta pemeriksaan elektrolit dan pemeriksaan enzyme. Prediksi osteoporosis perlu pemeriksaan serum calcium, vitamin D, hormone thyroid dan parathyroid dan enzyme
alkaline phosphatase
· Pemeriksaan
Rontgen (x-rays): proyeksi AP dan
lateral cukup memadai untuk mengkorfirmasi atau menentukan diagnosis fraktur
dan perencanaan tindakan serta prognosis. Pemeriksaan radiografi juga dapat
menentukan osteoporosis tetapi kurang sensitif (< 30%) untuk mendeteksi bone loss
· Pemeriksaan
bone mineral density/BMD dapat
digunakan Dual Energy X–ray
Absorptiometry (DEXA) untuk pasien lansia yang mengalami fraktur dengan
kemungkinan osteoporosis. Pemeriksaan DEXA dilakukan pada daerah yang lebih sensitif
seperti di tulang belakang, hip yang
mengekspresikan jumlah gram mineral per
square-centimeter tulang. Bila hasilnya (WHO):
T
- score: 0 sampai – 1 adalah normal
T
- score: -1 sampai -2.5 adalah Osteopenia
T
- score: ≤ -2.5 adalah Osteoporosis
T
– score: ≤ -2.5 dengan fraktur adalah Osteoporosis berat
·
Berdasarkan
petunjuk National Osteoporosis Foundation
ada indikasi pemeriksaan bone mineral
analysis dengan menggunakan DEXA di Negara yang maju yaitu: semua wanita
menopause, semua pria umur lebih 65 tahun atau dengan hypoganodism, wanita yang mendapat terapi hormone dalam waktu lama,
pria-wanita dengan deformitas tulang belakang pada gambaran x-ray atau yang menderita hyperparathyroidism, mendapat terapi glucocorticoid kurun waktu lama atau
obat yang mempunyai efek osteoporosis.
· Pemeriksaan
bone density dapat dilakukan dengan
alat peripheral bone densitometry
pada antebrachii, tangan dan tulang kalkaneus. Interpretasi hasil alat ini ada
sedikit perbedaan atau tidak benar terutama wanita muda atau perimenopause dan
akan mmenghasilkan palse negative
lebih besar di setiap daerah yang diperiksa tetapi pada kalkaneus dan
antebrachii akan lebih tepat.
4.
PERMASALAHAN
· Meningkatnya
harapan hidup manusia termasuk Indonesia dapat terjadi peningkatan jumlah
penduduk lansia akibat adanya peningkatan pelayanan kesehatan dan
sosial-ekonomi seperti terlihat ilustrasi 2.
Ilustrasi
2. Pyramid populasi (WHO)
· Bila kita konversi kepada penduduk lansia
Indonesia berdasarkan statistik (BPS) 2010 berjumlah 18 juta (pria dan wanita)
artinya sepertiganya akan mengalami jatuh yaitu sebanyak 6 juta orang dan 40%
perlu perawatan di RS yaitu 2 juta. Sebanyak 800.000 populasi memerlukan
tindakan operasi karena fraktur hip dengan biaya minimal perorang 10
juta rupiah. Maka dapat diperkirakan penghamburan biaya sebesar 8 triliun
rupiah setiap tahun dan meningkat pada masa yang akan datang seperti prediksi
WHO. Pertanyaanya adalah bagaimana kita menurunkan/menghemat biaya mahal
tersebut yang dikeluarkan oleh masyarakat lansia dan pemerintah Indonesia.
· Oleh karena
itu, dapat disimpulkan secara epidemiologi populasi lansia di Indonesia akan
terjadi permasalahan seperti:
a.
Sepertiga
populasi lansia tersebut akan mengalami jatuh atau trauma
b.
Seperohnya
akan terjadi trauma rekuren
c.
Satu persen
dari fraktur fragilitas akan terjadi fraktur fragilitas di hip dan membutuhkan perawatan di Rumah Sakit
d.
40-50%
fraktur fragilitas di hip tersebut
membutuhkan pelayanan home care
·
Penyebab fraktur fragilitas pasien lansia akibat
jatuh seperti pada table 1:
Table
1. Faktor risiko/penyebab jatuh pada lansia
I.
FAKTOR RISIKO BIOLOGIS (biological risk factors)
|
·
Mobility problem
·
Chronic health problem
·
Vision problem
·
Loss of sensation of feet
|
II.
BEHAVIORAL RISK FACTORS
(LIFESTYLE)
|
·
Inactivity
·
Medication side effect atau polypharmacy
·
Alcohol and cigarette using
|
III.
ENVIRONMENT RISK FACTORS
|
·
Home and environment hazard
·
Incorrected assisted devices
·
Poorly designed public space
|
IV.
SOSIAL-ECONOMIC RISK FACTORS
|
·
Low income
·
Lack of health services
·
Inadequate social interaction
·
Minimal community resources
|
· Fraktur
fragilitas pasien lansia umumnya akibat jatuh di luar rumah seperti pada
ilustrasi 3 di bawah ini
Ilustrasi
3: lokasi lansia jatuh
· Pada umumnya pelayanan kesehatan pada fraktur fragilitas
hanya terfokus pada fraktur saja.
· Low bone density berakibat fiksasi implant yang dipakai tidak terfiksir
sempurna sehingga akan meningkatkan angka implant
failure dan oleh karena itu membutuhkan seleksi implant yang lebih sempurna dengan pembiayaan yang lebih mahal.
· Pasien lansia osteoporosis dengan fraktur
fragilitas terjadi peningkatan angka komplikasi sebelum dan sesudah tindakan.
· Pasien
lansia mempunyai masalah fraktur fragilitas, degenerasi sendi terutama penumpu
berat badan dan penurunan fungsi organ-organ tubuh /komorbiditas (masalah
jantung, diabetes dan hipertensi), gangguan keseimbangan, penurunan kekuatan
otot, penurunan penglihatan dan pendengaran sehingga angka
kematian pre-pasca tindakan akan meningkat.
· Pasien
lansia akan terjadi penurunan kapasitas fungsionalnya seperti terlihat pada
ilustrasi 4 dibawah ini
Ilustrasi
4: Pernurunan aktifitas
RINGKASAN:
a. Penurunan struktur dan fungsi tubuh sehingga
berdampak aktifitas dan partisipasi dengan masyarakat seperti ilustrasi 5 di
bawah ini
|
b.
Peningkatan
pembiayaan (langsung dan tidak langsung) seperti terlihat ilustrasi 6 di bawah
ini
Akibatnya terjadi
peningkatan angka mortalitas dan disabilitas, hilangnya kemadirian disertai
pembiayaan penatalaksanaan yang mahal
5.
PENATALAKSANAAN (lihat algoritma pelayanan fraktur fragilitas
di belakang)
Ada tiga aspek
pemikiran tatalaksana yaitu fraktur fragilitas, osteoporosis dan lansia (elderly) dengan
TUJUAN
PENATALAKSANAAN:
·
TUJUAN UMUM
Mengembalikan
fungsi pasien kesemula atau sebelum terjadi fraktur fragilitas.
·
TUJUAN
KHUSUS:
1) Program promosi dan pencegahan fraktur
fragilitas dan osteoporosis pada masyarakat lansia (promotin and prevention)
2) Diagnosis dan penatalaksaanan pasien fraktur
fragilitas
3) Penatalaksanaan osteoporosis pada pasien
fraktur fragilitas
4) Tatalaksana pasien lansia (elderly)
1)
Pasien lansia dengan fraktur
fragilitas dengan atau tanpa osteoporosis datang berobat dengan keluarga atau
masyarakat atau tim P3K
1.
Manajemen fraktur fragilitas
·
Lifesaving
·
Limb threatening
2.
Manajemen osteoporosis
3.
Tatalaksana lansia
|
RS Sawasta
|
A. PUSKESMAS (level I)
·
ALUR PASIEN (ilustrasi di atas):
2)
Pasien lansia dengan fraktur
fragilitas dengan atau tanpa osteoporosis datang berobat rujukan pelayanan
swasta karena alasan tertentu.
·
TINDAKAN:
I.
Fraktur Fragilitas
1)
Terapi/tindakan temporer/sementara:
a.
Emergency:
Lifesaving dan limb
threatening (dengan fasilitas yang ada) terutama pasien lama tanpa
pertolongan seperti pasien di Rumah sendirian.
·
Lifesaving
seperti resusitasi cairan atau kardiokpulmoner
·
Limb
threatening yaitu mengembalikan ke lurusan (normal alignment) guna menghilangkan
penekanan neurovaskuler dan kemudian pasang imobilisasi(splint)
·
Fraktur fragilitas terbuka (open fragility fracture): irrigation (cuci) dengan cairan
fisilogis:
o
Beri antibiotik spektrum luas dosis
2 gr dan pain killer
o
Derajat I/luka diameter ≤ 1 cm,
sebanyak 3 liter
o
Derajat II/luka diameter > 1 –
10 cm dan sedikit kotor, sebanyak 4 liter
o
Derajat III/luka diameter > 10
cm dan sangat kotor, sebanyak 6 liter
b.
Kemudian luka tutup dengan kasa
steril, bebat dan sedikit menekan serta pasang splint/immobilization.
c.
symptomatic
/ Palliative
d.
transportasi untuk dirujuk ke RSUD
atau RSUP/RSN
e.
Secara teratur (tiap dua tahun)
memeriksa BMD sebagai follow up
2)
Terapi/tindakan definitif
a.
Terapi definitif berdasarkan
kompetensi dokter umum/dokter keluarga: seperti kontusi, fraktur fragilitas non-displaced atau inkomplit tertutup
dengan memberikan splint/immobilisasi
(Price = protection, rest, immobilization
and elevation), pain killer dll.
b.
Rujuk Bila ada:
a)
Fraktur fragilitas tidak stabil,
fraktur hip, fraktur fragilitas tulang
belakang dan fraktur fragilitas terbuka setelah dilakukan irigasi
b)
Disertai komorbiditas atau masalah
lain seperti keterangan di atas
c)
Gagal atau
d)
Berdasarkan permitaan
pasien/keluarga
c.
Rehabilitasi sederhana aktif/pasif
II. Osteoporosis dan lansia
Persentase jatuh pada lansia
berdasarkan publikasi di majalah kedokteran beberapa Negara seperti UK, New
Zealand, US, dan Belanda terlihat lansia umur diatas 64 tahun sebanyak 28-35%
dengan rincian umur 70 tahun diperkirakan 32-42% setiap tahun atau sepertiga
masyarakat lansia di US akan mengalami jatuh. 30-50% masyarakat lansia dirawat
di RS akibat fraktur hip atau trauma kepala setiap tahun dan 40% akan
terjatuh kembali.
Insidensi trauma per 1000 populasi lansia
terjadi peningkatan sesuai dengan pertambahan umur. Lansia wanita lebih banyak
daripada pria. Perbedaan jender kemungkinan berhubungan dengan income
rendah pada wanita dan perbedaan social isolation. Pada masa akan datang
terjadi peningkatan jumlah lansia yang terutama
di Negara berkembang. Pertanyaannya adalah dapatkah kita menurunkan
angka jatuh pada populasi lansia
Angka kematian per 100.000 populasi lansia di US
(2001) terjadi peningkatan sesuai dengan penambahan umur kedua jenis kelamin
dan lansia pria lebih banyak daripada wanita. Perbedanan ini mungkin disebabkan
pria lebih mobil/aktif atau faktor sikap perilaku pria melebihi dari wanita. Nonfatal
rate wanita lebih tinggi daripada pria. Pada 2004 di US terjadi kematian berjumlah
14.900 dengan faktor risiko umur, kelemahan, keterbatasan mobilitas, merupakan
kontribusi kejadian ini.
Hospitalisasi setiap tahun dari 1993-2003 akibat fraktur hip per
100.000 populasi lansia di US lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan
pria. Tetapi angka hospitalisasi lansia wanita terjadi penurunan yang signifikans.
Hal ini mungkin disebabkan manajemen osteoporosis pada lansia wanita sementara
pria tidak berubah. Dapatkah angka ini diturunkan pada masa yang datang.
GP dan dokter keluarga pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien
lansia jatuh selalu terfokus atau cendrung jatuh tersebut sebagai akibat trauma
dan dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien. Kita lupa menilai
risiko jatuh pada lansia
Oleh karena itu, GP dan dokter
keluarga perlu pencegahan fraktur fragilitas masyarakat seperti dibawah ini
a.
PROMOSI dan PENCEGAHAN (promotion and prevention): Dokter umum
dan dokter keluarga memegang peranan pada promosi-pencegahan jatuh dan osteoporosis
pada masyarakat lansia di tempat dia bertugas.
Tujuan promosi-pencegahan jatuh dan
osteoporosis adalah: Pasien lansia tetap aktif, independen dan safe healthy lifestyle dengan strategi
pencegahan jatuh dengan motto: “stay active and stay safe in healthy lifestyle of
elderly people”
Pencegahan jatuh tersebut dapat dicapai
dengan: (1) harus dapat membangaun kesadaran masyarakat
dan pemerintah bahwa kesehatan lansia adalah sangat penting. (2) bagaimana
lansia dapat mencapai gaya hidup sehat, nyaman, aktif dan tidak ketergantungan,
(3) mengidentifikasi faktor risiko pada gaya hidup sehat dihari tua, dan (4)
mengimplementasikan pencegahan jatuh pada lansia. Oleh karena itu GP dan dokter
keluarga harus:
·
Melakukan pendidikan pencegahan
jatuh pada masyarakat lansia,
·
Program latihan Tai Chi, latihan strengthening dan keseimbangan dan
berkonsultasi dengan dokter ahli syaraf,
·
Mengurangi polifarmasi,
·
Melakukan koreksi kaca mata dan
telinga atau berkonsultasi dengan dokter ahli mata atau ahli THT,
·
Home
safety dan koreksi masalah kaki, sepatu, serta
beradaptasi dengan lingkungan.
Adapun healthy lifestyle yaitu:
·
Healthy
diet,
·
Active
physical dan social
lifestyle,
·
Adequate
calcium,
·
Exposure
sun light dan vitamin D,
·
Weight
bearing exercises dan
·
Avoid
alcoholism dan smoking.
Oleh karena itu GP atau dokter
keluarga harus mempunyai perencanaan: program yang efektif dan mempersiapkan
informasi ke masyarakat umum dan terutama masyarakat lansia seperti program
pada ilustrasi 7 dan 8 di bawah ini
b. Pada pemeriksaan DEXA populasi
lansia tidak/belum mengalami osteporosis maka promosi dan pencegahan seperti
ilustrasi 7 di bawah ini
Pasien dipertahankan kekuatan
tulang (bone strength) dan mencegah
faktor risko, makan yang mencukupi kebutuhan kualitas tulang, latihan, dan
mencegah jatuh. Bila pasien pada pemeriksaan DEXA didiagnosis osteoporosis maka
promosi dan pencegahan seperti ilustrasi 8 di bawah ini
c. FARMAKOLOGIK: Dokter umum atau
dokter keluarga mempunyai kompetensi melakukan terapi farmakologik pada pasien
lansia dengan osteoporosis. Bila mereka ragu-ragu dapat berkonsultasi dengan
ahli orthopaedi dan traumatologi atau ahli penyakit dalam atau ahli kebidanan.
Terapi farkologik pasien osteoporosis adalah sebagai berikut:
1.
Hormonal:
estrogen (0.625 mg) dan estradiol (0.5 mg) atau selective estrogen receptor modulation
(SERM) dan semua terapi hormonal harus berkonsultasi dengan ahli kebidanan
2.
Bisphosphonates
merupakan potent inhibitor bone
resorption dan mampu menambah bone
mass. Indikasi pemakaian preparat ini untuk T score ≤ -2.0 pada kolum femur
sampai 10 tahun atau T score > -2.0 pada kolum femur dan T score -2.5 pada
tulang belakang atau berdasarkan saran seperti pada table 2 – 5 di bawah ini
Tabel 2. Dosis pemberian bisphosphonate
obat
|
Dosisi oral
|
intravenous
|
||
Setiap
hari
|
Setiap
minggu
|
Setiap bulan
|
||
Alendronate
(Fosamax)
|
5
dan 10 mg
|
24
dan 70 mg
|
||
Risedronate (Actonel)
|
5
mg
|
35
mg
|
150
mg
|
|
Ibandronate (Boniva)
|
2.5
mg
|
150
mg
|
3
mg setiap 3 bulan
|
|
Zoledronate (Reclast)
|
5
mg sekali setahun
|
Tabel 3. Indikasi pemakaian bisphosphonate dibawah ini
Obat
|
Osteoporosis
postmenopausal
|
Osteoporosis
akibat obat
|
Pria
|
||
Pencega-han
|
Terapi
|
Pence-gahan
|
Tera-pi
|
||
Alendronate
(Fosamax)
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
Risedronate
(Actonel)
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Ibandronate
(Boniva)
|
√
|
√
|
|||
Zolendronate
(Reclast)
|
√ (dosis 5 mg IV
selama > 5 menit setiap 2 tahun)
|
√ (dosis 5 mg IV
selama > 15 menit per tahun)
|
√
|
√
|
√
|
Tabel 4. pemberian bisphosphonate dan obat holiday
Risiko
fraktur
|
Lama
pengobatan
|
Lama
drug holiday
|
Rendah/low
|
Indikasi jarang
|
NA
|
Mildly
increased
|
Pengobatan rata-rata 5 tahun
|
Stay
off bisphosphonate until BMD menurun atau
terjadi fraktur
|
Moderately
increased
|
Treat for 5 – 10 tahun
|
Stay
off bisphosphonate for 2-3 tahun (atau
kurang bila BMD menurun atau terjadi fraktur)
|
High
|
Treat for 10 tahun
|
Stay
off bisphosphonate untuk 1-2 tahun
(atau kurang bila BMD menurun atau terjadi fraktur). Pengobatan alternatif
adalah raloxifene, teriparatide,
bisa diberikan selama holiday from bisphosphonate
|
Berdasarkan
penelitian pengobatan farmakologik terjadi penurunan fraktur sebagai berikut
(tabel 5):
Tipe fraktur
|
Relative
risk reduction (95% CI)
|
|||
Alendro-nate
|
Risedro-nate
|
Ibandro-nate
|
Zolendro-nate
|
|
1.
Tulang belakang
|
44% (32-54%)
|
39% (25-50%)
|
50 % (62-77%)
|
70% (62-77%)
|
2. hip
|
38% (2-60%)
|
26% (7-41%)
|
NS
|
41% (17-58%)
|
3. Wrist
|
33% (-31-66%)
|
32% (-8-57%)
|
NS
|
19% (-6-38%)
|
4.
Tempat lain
|
19% (3-32%)
|
24% (9-36%)
|
NS
|
25% (13-36%)
|
Berdasarkan EBM (evidence)
·
Bisphosphonate
adalah terapi lini pertama pada osteoporosis (rekomendasi B)
·
Pasien T score ≤ -2.5 pada kolum femur setelah 3-5 tahun pengobatan
mempunyai risiko fraktur tulang belakang sangat tinggi dan oleh karena itu
dianjurkan terapi sampai 10 tahun (rekomendasi B)
·
Pasien dengan fraktur tulang
belakang dan T score mencapai -2.0
(rekomendasi B)
·
Pasien fraktur femur T score > -2.0 mempunyai risiko fraktur
tulang belakang rendah dan tidak ada keuntungan pengobatan lebih dari 3-5 tahun
(rekomendasi B)
·
Pengobatan pasien pria dan wanita
postmenopayse 5 mg IV selama > 15 menit seksli setahun (rekomendasi B)
·
Pencegahan pada wanita
postmenopause 5 mg IV selama > 5 menit setiap dua tahun (rekomendasi B)
3.
Calcium
intake dan serum vitamin D seperti terlihat pada
table 6 di bawah ini
Tabel6 . Asupan calcium, vitamin D dan K pada pasien
osteoporosis
Nutrient
|
Rekomendasi per
hari
|
Makanan yang mengandung
nutrien
|
·
Calcium
|
≥
800 mg-1000 mg dikomsumsi setiap makan
|
Susu,
kacang kedelai, teri, udang dll
|
·
Vitamin D
|
400-800
IU
|
Ubur-ubur,
salmon, belut, sinar matahari, dll
|
·
Vitamin K
|
250-300
ug
|
Telor,
kacang kedelai, bayam brokoli dll
|
·
Protein
|
Wanita
50 gr
Pria
60 gr
|
4.
Obat-obat lain
·
HOME
CARE/PUSKESMAS:
Follow up pasien atau rujukan follow
up dari RSUD atau RSUP/RSN
Follow
up
pasien yang mendapatkan pengobatan osteoporosis memerlukan jangka waktu lama.
Pengukuran BMD dengan DEXA dapat dilakukan setiap dua tahun dan pengukuran
kadar calcium dan 25-hidroksi vitamin D setelah terapi 5
tahun. Pemeriksaan kadar N-telopeptide
sebagai petunjuk aktifitas metabolik yang dapat membantu dokter pada
pengambilan keputusan untuk kelanjutan atau perubahan terapi. Follow up juga dilakukan dari rujukan
dokter ahli orthopaedi dan traumatologi dengan beberapa petujuk dan kapan
dirujuk kembali ke dokter ahli tersebut untuk penentuan perubahan follow up berikutnya.
·
REHABILITASI
·
PELAYANAN END OF LIFE
C.
KOMPLIKASI
· Pasien lansia sangat mudah/rentan
terjadi komplikasi medis pada fraktur fragilitas. Komplikasi pengobatan
farmakologik osteoporosis dapat menimbulkan kanker (breast cancer), vaginal
bleeding dan breast tenderness, mood disturbances dan penyakit gallbladder pada terapi hormone replacement. Demikian juga
pemberian obat-obat osteoporosis lainnya
·
Infeksi pasca operasi dan
komplikasi fraktur sangat mudah terjadi.
· ORIF dan OREF fraktur fragilitas
dengan osteoporosis sangat sukar mencapai fiksasi yang stabil, sering terjadi fixation loosening dan terjadi refraktur
· Monitoring
ketat pada pasien lansia karena dengan mudah terjadi komplikasi pada fungsi
organ-organ yang menurun (visual changes,
hearing problem, neurologic problem
seperti Parkinson, muscles
weakness/stroke, transient ischemic attacks), cardiovascular problem (arrhythmia,
hypertension atau hypotension dan
peripheral vascular diseases), dementia, joint degeneration dan systemic illness (metabolic defect atau malignancy)
·
Pasien lansia dengan osteoporosis
dapat menimbulkan rasa nyeri kronis (chronic
pain), social withdrawal, loss of
independence dan meninggal terutama pada fraktur fragilitas hip.
KEPUSTAKAAN
1. Anderson GL, Limacher M, Assaf AR, et al.
Effects of conjugated equine estrogen in postmenopausal women with
hysterectomy: the Women's Health Initiative randomized controlled trial. JAMA. 2004 Apr 14;291(14):1701–1712.
2. Bernstein J (editor). Musculoskeletal Medicine.
American Academy of Orthopaedic Surgeons. Rosemont, Illinois. 2003
3. Cummings SR, Melton LJ. Epidemiology and
outcomes of osteoporotic fractures. Lancet.
2002 May 18;359(9319):1761–1767.
4. Cummings SR, San Martin J, McClung MR, et al.
Denosumab for prevention of fractures in postmenopausal women with
osteoporosis. N Engl J Med. 2009 Aug
20;361(8):756–765.
5. Ekman EF. The role of the orthopaedic surgeon
in minimizing mortality and morbidity associated with fragility fractures. J Am Acad Orthop Surg. 2010 May; 18(5):278–285.
6. Ettinger B, Black DM, Mitlak BH, et al.
Reduction of vertebral fracture risk in
postmenopausal
women with osteoporosis treated with raloxifene: results from a 3-year
randomized clinical trial. Multiple Outcomes of Raloxifene Evaluation (MORE)
Investigators. JAMA. 1999 Aug 18; 282(7):637–645.
7. Gosch M, Kammerlander C, Roth T, et al.
Surgeons save bones: an algorithm for orthopedic surgeons managing secondary
fracture prevention. Arch Orthop Trauma
Surg. 2013 Aug; 133(8):1101–1108.
8. Green WB (editor): Essentials of Musculoskeletal Care. American Academy of Orthopaedic
Surgeons. Rosemont, Illinois. 2001
9. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med. 2007 Jul 19; 357(3):266–228.
10. Lippman ME, Cummings SR, Disch DP, et al.
Effect of raloxifene on the incidence of invasive breast cancer in
postmenopausal women with osteoporosis categorized by breast cancer risk. Clin Cancer Res. 2006 Sep
1;12(17):5242–5247.
11. Lyles KW, Colón-Emeric CS, Magaziner JS, et al.
Zoledronic acid and clinical fractures and
mortality after
hip fracture. N Engl J Med. 2007 Nov
1;357(18):1799–1809.
12. National Osteoporosis Foundation. Clinician's guide to prevention and
treatment of osteoporosis. Washington DC; 2008.
13. Rossouw JE, Anderson GL, Prentice RL, et al.
Risks and benefits of estrogen plus progestin
in
healthy postmenopausal women: principal results From the Women's Health
Initiative
randomized controlled trial. JAMA. 2002 Jul 17;288(3):321–333.
14. Russell RG, Watts NB, Ebetino FH, et al.
Mechanisms of action of bisphosphonates:
similarities and
differences and their potential influence on clinical efficacy. Osteoporos Int. 2008 Jun; 19(6):733–759.
15. Siris ES, Harris ST, Rosen CJ, et al. Adherence to bisphosphonate
therapy and fracture rates in osteoporotic women: relationship to vertebral and
nonvertebral fractures from 2 US claims databases. Mayo Clin Proc. 2006 Aug; 81(8):1013–1022.
16. Solomon L and
Nayagam S (2010). Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. 9th Edition, HODDER & ARNOLD,
London, British.
17. Unnanuntana A, Gladnick BP, Donnelly E, et al.
The assessment of fracture risk. J Bone
Joint Surg Am. 2010 Mar; 92(3):743–753.
18. Wicherts IS, van Schoor NM, Boeke AJ, et al.
Vitamin D status predicts physical performance and its decline in older
persons. J Clin Endocrinol Metab.
2007 Jun;92(6):2058– 2065.
No comments:
Post a Comment